Definisi terorisme yang dipilih DPR dalam Revisi UU Anti Terorisme dinilai bermasalah oleh dosen hukum pidana Universitas Katolik Atma Jaya, Antonius P.S. Wibowo, karena membuat terorisme di Indonesia dipersempit sebagai delik politik. Dengan definisi ini justru berpotensi membuat pemberantasan terorisme lebih sulit atau menjadi sewenang-wenang.
Berikut definisi yang disepakati DPR dalam UU Anti Terorisme yang baru:
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitasi internasional dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan. |
“Masalahnya, secara pidana itu terorisme kan tidak selalu berhubungan dengan motif politik, ideologi, dan agama. Karena terorisme tujuannya adalah menimbulkan rasa tidak aman,” kata doktor lulusan Giessen University, German ini kepada hukumonline, Jumat (25/5).
Bagi Anton, mencantumkan motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan dalam rumusan definisi terorisme, artinya menambah unsur delik yang harus dibuktikan untuk menyatakan telah terjadi tindak kejahatan terorisme.
Meskipun faktanya telah terjadi teror di masyarakat, selama tidak bisa dibuktikan adanya motif tersebut maka tidak bisa disebut sebagai terorisme. “Kalau nggak ada motif ideologi, motif politik, motif gangguan keamanan, berarti bukan terorisme toh?” katanya.
Lebih lanjut, Anton menyoroti soal motif politik yang membuat jenis kejahatan terorisme dikualifikasi sebagai delik politik. Padahal dalam rezim hukum pidana internasional ada kesepakatan bahwa terhadap pelaku delik politik tidak dapat dilakukan ekstradisi.
“Karena tidak dapat diekstradisi, berarti akan mempersulit penegakkan hukum pidana terorisme jika sudah lintas batas negara,” jelas Anton.