Center for Digital Society (CfDS)-UGM merilis hasil penelitian terkait kerangka hukum Indonesia menangani konten berbahaya dan dinamika penggunaan media sosial. Penelitian ini salah satunya untuk mengantisipasi penyebaran konten berbahaya dan disinformasi selama momentum Pemilu 2024. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah tentang disparitas pengaturan dan mekanisme penanganan konten antara pemerintah dan platform media sosial.
Peneliti CfDS Novi Kurnia mengungkap dalam penelitian yang dilakukan lembaganya, ditemukan tren yang mengkhawatirkan mengenai disparitas pengaturan dan mekanisme penanganan konten berbahaya antara yang diatur oleh pemerintah lewat sejumlah regulasi dengan yang diatur oleh platform media sosial.
“Karena ada ketegangan tertentu ketika pemerintah menyuruh take down sementara standar komunitasnya (platform media sosial) mengatakan tidak, maka ketegangan itu terjadi,” ujar Novi Kurnia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Baca Juga:
- Pentingnya Mengetahui Latar Belakang Kandidat Peserta Pemilu Serentak 2024
- Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024
- Sejumlah Dampak Jika Pemilu 2024 Ditunda
Novi juga mengungkapkan sejumlah catatan terkait kerangka hukum dan mekanisme penegakan aturan terkait penyebaran konten-konten berbahaya di platform media sosial. Menurut Novi, aturan yang ada membuat opsi penyelesaian problem ini sering melalui mekanisme pengadilan.
“Konsekuensi mekanisme pengadilan lewat tuntutan pidana atau non pengadilan lewat penyelesaian sengketa dan tindakan administratif,” ujar Novi.
Hal ini, menurut Novi akibat dari penggunaan pendekatan punitif dalam menekan penyebaran konten berbahaya, hoaks, dan disinformasi. Sejumlah ketentuan seperti Undang-Undang ITE, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Permenkominfo Nomor 5 tabun 2020 tentang PSTE Lingkup Privat dianggap mengadopsi pendekatan punitif.