Beberapa Pemikiran tentang Asas Pemisahan Horizontal dalam Pertanahan
Oleh: Hendra Setiawan Boen*)

Beberapa Pemikiran tentang Asas Pemisahan Horizontal dalam Pertanahan

Apabila tiga orang yang memiliki keahlian di bidang yang berbeda ditanya mengenai apakah fungsi hukum menurut mereka, dapat dipastikan kita akan memperoleh jawaban yang berbeda-beda.

Bacaan 2 Menit

 

Permasalahan asas pemisahan horizontal akan mencuat apabila terjadi kasus yang setelah hak sekundernya berakhir pemegang hak milik tadi ingin mengusahakan tanah tersebut sendiri. Sementara ada sebuah gedung yang berdiri tegak di atas tanahnya. Dalam proses pembangunan gedung, permukaan tanah tadi sebelumnya pasti sudah digali untuk ditancapkan tiang pancang dan berbagai beton sebagai pondasi bangunan. Bukankah selama tidak mengganggu orang lain dan tidak melanggar hukum seharusnya pemegang hak milik dapat melakukan apa saja terhadap tanah kepunyaannya? Tapi tentu pilihan yang dapat diperbuat terhadap tanah tersebut akan sangat terbatas mengingat ada sebuah bangunan besar berdiri. Apabila bangunan tersebut dibongkar sebagaimana dikatakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, tindakan semacam ini serta usaha untuk mereklamasi tanah akan memakan banyak biaya. Jadi, tidak efisien.

 

Dalam praktek pelekatan dua hak berbeda seperti ini dapat diperjanjikan bahwa pemegang hak sekunder akan menyerahkan gedung kepada pemegang hak milik ketika masa berlaku hak sekunder berakhir. Tetapi bukankah pemilik tanah tetap kekurangan pilihan terhadap apa yang dapat dilakukan terhadap benda miliknya tersebut? Lagipula merupakan ketidakadilan terhadap pemilik gedung lama apabila dia yang telah bersusah payah dan mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga untuk mendirikan serta merawat gedung, pada akhirnya harus kehilangan hak tadi. Bagi sebagian orang pemikiran semacam ini terkesan dipengaruhi oleh paham kapitalisme. Sebenarnya penulis hanya menempatkan diri pada posisi pemilik gedung. Penulis yakin, seandainya tidak dipaksa oleh keadaan melalui peraturan perundang-undangan pertahanan, maka tidak ada seorang pun yang bersedia begitu saja menyerahkan gedung miliknya kepada orang lain hanya karena hak sekunder habis masa berlakunya. Misalnya saja Hotel Hilton yang beralih kepemilikannya kepada Hotel Sultan yang karena tidak efisiennya hukum pertahanan nasional, maka HGBnya menjadi tidak dapat diperpanjang.

 

Status hukum dari sebuah bangunan gedung yang telah habis jangka waktu hak sekundernya juga harus dipikirkan. Jurisprudensi Mahkamah Agung mengatakan pemegang hak sekunder lama akan diberikan prioritas terhadap perpanjangan hak sekunder tersebut. Namun loop hole terhadap kewajiban perpanjangan ini dapat saja terjadi. Andaikan ada seseorang yang bertikad buruk kemudian mengajukan permohonan perpanjangan hak sekunder tersebut atas nama sendiri, dan mengingat masih kurang tertatanya sistem pendaftaran tanah kita, maka keluarnya sertifikat hak sekunder atas nama orang yang bertikad buruk tadi bukanlah sesuatau yang luar biasa.

 

Kemudian bagaimana apabila bangunan gedung tadi dimaksudkan sebagai rumah susun/kondominium ataupun pertokoan? Lalu dibagi menjadi unit-unit apartemen atau kios-kios? Masing-masing pemilik unit apartemen memegang hak yang dinamakan strata title yang berdasarkan hukum, kekuatannya sama dengan hak milik pada rumah biasa. Seharusnya tidak ada yang boleh mencabut hak tersebut, kecuali terbukti hak tersebut diperoleh secara melawan hukum atau pun pencabutan dilakukan untuk kepentingan sosial.

 

Apakah masih relevan membicarakan strata title dalam kasus pemilik dari tanah tersebut adalah Pemda. Pemda memutuskan untuk tidak memberikan perpanjangan terhadap hak sekunder (misalnya hak pakai, karena tanah negara hanya dapat dilekatkan hak pakai atau hak pengelolaan) tersebut. Dengan pertimbangan bahwa Pemda bermaksud untuk mendayagunakan tanah dan bangunan tersebut sendiri atau ada investor yang dapat membayar untuk pemberian hak sekunder tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan pengelola q/q Perhimpunan Penghuni/pemilik kios. Bukankah pengelola yang lama akan kehilangan haknya atas gedung?

 

Memang apabila terjadi kasus seperti ini, maka developer apartemen atau toko dan Pemda setempat dapat digugat oleh perhimpunan penghuni atau pemilik kios. Dasar hukumnya adalah  telah melakukan perbuatan melawan hukum karena memperdaya konsumen dengan menjual unit kios/apartemen dengan strata title, padahal unit tersebut berada pada tanah hak pakai. Setidaknya ilustrasi ini dapat memperlihatkan asas pemisahan horizontal lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat, karena keberadaannya dapat digunakan sebagai alat memperdaya pihak yang bertikad baik.

 

Cukup sering kita mendengar kasus-kasuk eksekusi tanah yang mustahil ada apabila hukum tanah di Indonesia memang telah dirancang dan dijalankan sesuai koridor yang seharusnya. Contoh saja putusan Mahkamah Agung yang mencuat baru-baru ini terhadap tanah puluhan hektar di daerah Meruya Selatan. Padahal bukti yang diajukan oleh penggugat dalam perkara tersebut hanya berupa girik, sedangkan para tergugat yang akan dieksekusi telah memegang sertifikat hak milik. Bagaimana bisa Mahkamah Agung memenangkan girik daripada sertifikat keluaran Badan Pertahanan Nasional (BPN)?

Tags: