Beberapa Bagian Buku Kesatu RUU KUHP Masih Dikritik
Berita

Beberapa Bagian Buku Kesatu RUU KUHP Masih Dikritik

Persoalan mengenai pemuatan klausul yang seharusnya berada pada lapangan teori menjadi norma dalam undang-undang.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Menariknya, Buku Kesatu RUU KUHP juga masih mengakui pentingnya perlindungan terhadap individu agar tidak dihukum tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang melarang dan mengancam sanksi pidana terhadap suatu perbuatan tertentu sebelum perbuatan pidana itu dilakukan. Prinsip ini bahkan diletakkan dalam ketentuan pertama yang diatur dalam Buku Kesatu RUU KUHP sekaligus memposisikan asas legalitas sebagai asas pokok dalam hukum pidana.

Selanjutnya mengenai penjatuhan pidana yang berbeda dari ancaman pidana yang dicantumkan dalam rumusan delik. Salah satu rumusan baru terdapat dalam ketentuan pasal 63 yang  mengatur tentang pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif.

Jika diamati secara saksama bunyi pasal 63 ayat (1), (2), (3), tim perumus RUU KUHP mencoba memberikan arahan agar hakim menjatuhkan pidana yang lebih ringan apabila dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan  ini merupakan upaya mendudukkan kembali prinsip ultimum remedium sekaligus menempatkan konsep proporsionalitas hukuman atas tindak pidana. Sebaliknya, pengaturan pasal 63 ayat (2) dan (3) RUU KUHP justru memunculkan permasalahan lain. Konsep ini bertentangan dengan asas legalitas. Kemunculan asas legalitas dalam hukum pidana bertujuan agar calon pelaku memperoleh informasi yang layak mengenai perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana yang menyertai pengaturan tersebut.

Dengan demikian, dalam doktrin von Feurbach, masyarakat akan berfikir ulang untuk melakukan kejahatan karena secara psikologis akan muncul rasa takut dalam diri calon pelaku jika mengetahui ancaman pidana atas perbuatan yang dilarang tersebut. Yang lainnya, menormakan teori hukum pidana secara berlebihan. Persoalan ini adalah mengenai pemuatan klausul yang seharusnya berada pada lapangan teori menjadi norma dalam undang-undang.

Usaha penormaan teori ini berimplikasi paling nyata bahwa norma yang diatur berdampak minim pada kepentingan praktik. Penormaan teori ini jika dilihat dari kacamata teori itu sendiri berkonsentrasi pada tidak berkembangnya perdebatan doktriner atau ilmu pengetahuan hukum pidana. Timbul anggapan seakan-akan teori yang sudah dinormakan bersifat final dan tidak terbuka ruang untuk pembaharuan di kemudian hari.

Dalam RUU KUHP, penormaan teori ini memuat dua persoalan. Pertama, teori yang menjadi norma itu memberikan sumbangsih yang minim pada praktik. Oleh karena itu perlu diuji nesesitasnya (kepentingan) untuk dinormakan dalam undang-undang. Kedua, beberapa norma sesungguhnya penting untuk diatur tatau dirumuskan dengan bahasa teori. Konsekuensinya, muncul kebingungan dalam memakai norma yang diatur.

Beberapa ketentuan yang mencoba menormakan teori misalnya, dalam pasal 10 yang menormakan teori waktu tindak pidana (tempus delicti). Demikian juga dengan Pasal 11  yang menormakan tempat tindak pidana (locus delicti). Menurut Riski Akbari, ketentuan ini seharusnya tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. Secara umum, tempus dan locus delicti bisa dipahami sebagai waktu tindak pidana dan tempat tindak pidana.

Tags:

Berita Terkait