Beberapa Bagian Buku Kesatu RUU KUHP Masih Dikritik
Berita

Beberapa Bagian Buku Kesatu RUU KUHP Masih Dikritik

Persoalan mengenai pemuatan klausul yang seharusnya berada pada lapangan teori menjadi norma dalam undang-undang.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Harkristuti Harkrisnowo (tengah), dan M. Rizki Akbari (kiri) dalam diskusi membahas Buku Kesatu RUU KUHP. Foto; RES
Harkristuti Harkrisnowo (tengah), dan M. Rizki Akbari (kiri) dalam diskusi membahas Buku Kesatu RUU KUHP. Foto; RES

Pembahasan Buku Kesatu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sudah hampir rampung. Buku Kesatu RUU KUHP memuat 205 pasal yang mengatur mulai dari ruang lingkup berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana; tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana; pemidanaan, pidana, dan tindakan; gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana; pengertian istilah; serta ketentuan penutup.

Sejumlah hal menarik ditemukan dalam konstruksi Buku Kesatu RUU KUHP. Hal ini terungkap melalui hasil analisis yang dilakukan tim pengajar bidang studi hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Setidaknya ada beberapa titik krusial yang mendapat sorotan dalam konstruksi  Buku Kesatu RUU KUHP. Misalnya, mitos dekolonialisasi hukum pidana.

Salah satu misi yang diemban oleh tim perumus adalah melakukan dekolonialisasi hukum pidana. “Dekolonialisasi ini seperti semua rumusan dan nilai-nilai yang ada di KUHP itu mencerminkan kolonialisme,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia yang juga merupakan anggota tim perumus RUU KUHP, Harkristuti Harkrisnowo, dalam diskusi publik Membedah Konstruksi Buku Kesatu RUU KUHP, di Jakarta, Senin (07/5) kemarin. 

Bangunan hukum pidana Indonesia saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial. Namun menurut  hasil analisis, RUU KUHP tidak merombak prinsip-prinsip dasar pengaturan hukum pidana yang ada dalam KUHP saat ini. Minimnya perubahan dalam rangka dekolonisasi membuat RUU KUHP digambarkan sebagai KUHP yang ditambahkan beberapa materi baru. “Materi baru tersebut dikelompokkan dalam tiga hal, materi yang berasal dari UU di luar KUHP yang mengatur hukum pidana; materi yang sepenuhnya baru; dan materi yang disadur dari KUHP Belanda,” terang Pengajar Hukum Pidana STH Jentera, Anugrah Rizki Akbari, dalam kesempatan yang sama.

(Baca juga: Rasional dalam Kebijakan Pidana Indonesia).

Dilihat sepintas, seolah terdapat perbedaan yang cukup besar antara RUU KUHP dengan KUHP yang ada. Namun jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya RUU KUHP hanya mengubah tata letak ketentuan-ketentuan yang ada pada KUHP, dengan sedikit penambahan dan pengurangan di beberapa bagian.

Selanjutnya adalah pengabaian terhadap prinsip-prinsip fundamental dalam hukum pidana. Upaya pembaharuan hukum pidana nasional harus berpijak pada asas-asas hukum pidana yang selama ini menjadi fondasi hukum pidana Indonesia. Pengaturan dalam RUU KUHP tidak boleh melanggar prinsip-prinsip fundamental hukum pidana tersebut. Misalnya asas legalitas material yang memberi landasan bagi keberlakuan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law). Terobosan baru ini memberi kesempatan untuk menjerat pelaku tindak pidana, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. “Penyimpangan terhadap asas legalitas yang memungkinkan pemidanaan tanpa adanya hukum positif sebelumnya,” ujar Rizki Akbari.

(Baca juga: Apakah Asas Legalitas Hanya Berlaku dalam Hukum Pidana?).

Dalam perspektif tim perumus, ketentuan ini akan memberi dasar hukum bagi keberlakuan hukum pidana adat sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup di masyarakat tertentu. Untuk bisa mengoperasionalisasikan ketentuan ini, RUU KUHP memandatkan kepada pemerintah untuk melakukan kompilasi hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat dan diatur melalui instrumen Peraturan Daerah (Perda).

Menariknya, Buku Kesatu RUU KUHP juga masih mengakui pentingnya perlindungan terhadap individu agar tidak dihukum tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang melarang dan mengancam sanksi pidana terhadap suatu perbuatan tertentu sebelum perbuatan pidana itu dilakukan. Prinsip ini bahkan diletakkan dalam ketentuan pertama yang diatur dalam Buku Kesatu RUU KUHP sekaligus memposisikan asas legalitas sebagai asas pokok dalam hukum pidana.

Selanjutnya mengenai penjatuhan pidana yang berbeda dari ancaman pidana yang dicantumkan dalam rumusan delik. Salah satu rumusan baru terdapat dalam ketentuan pasal 63 yang  mengatur tentang pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif.

Jika diamati secara saksama bunyi pasal 63 ayat (1), (2), (3), tim perumus RUU KUHP mencoba memberikan arahan agar hakim menjatuhkan pidana yang lebih ringan apabila dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan  ini merupakan upaya mendudukkan kembali prinsip ultimum remedium sekaligus menempatkan konsep proporsionalitas hukuman atas tindak pidana. Sebaliknya, pengaturan pasal 63 ayat (2) dan (3) RUU KUHP justru memunculkan permasalahan lain. Konsep ini bertentangan dengan asas legalitas. Kemunculan asas legalitas dalam hukum pidana bertujuan agar calon pelaku memperoleh informasi yang layak mengenai perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana yang menyertai pengaturan tersebut.

Dengan demikian, dalam doktrin von Feurbach, masyarakat akan berfikir ulang untuk melakukan kejahatan karena secara psikologis akan muncul rasa takut dalam diri calon pelaku jika mengetahui ancaman pidana atas perbuatan yang dilarang tersebut. Yang lainnya, menormakan teori hukum pidana secara berlebihan. Persoalan ini adalah mengenai pemuatan klausul yang seharusnya berada pada lapangan teori menjadi norma dalam undang-undang.

Usaha penormaan teori ini berimplikasi paling nyata bahwa norma yang diatur berdampak minim pada kepentingan praktik. Penormaan teori ini jika dilihat dari kacamata teori itu sendiri berkonsentrasi pada tidak berkembangnya perdebatan doktriner atau ilmu pengetahuan hukum pidana. Timbul anggapan seakan-akan teori yang sudah dinormakan bersifat final dan tidak terbuka ruang untuk pembaharuan di kemudian hari.

Dalam RUU KUHP, penormaan teori ini memuat dua persoalan. Pertama, teori yang menjadi norma itu memberikan sumbangsih yang minim pada praktik. Oleh karena itu perlu diuji nesesitasnya (kepentingan) untuk dinormakan dalam undang-undang. Kedua, beberapa norma sesungguhnya penting untuk diatur tatau dirumuskan dengan bahasa teori. Konsekuensinya, muncul kebingungan dalam memakai norma yang diatur.

Beberapa ketentuan yang mencoba menormakan teori misalnya, dalam pasal 10 yang menormakan teori waktu tindak pidana (tempus delicti). Demikian juga dengan Pasal 11  yang menormakan tempat tindak pidana (locus delicti). Menurut Riski Akbari, ketentuan ini seharusnya tidak perlu dituangkan dalam undang-undang. Secara umum, tempus dan locus delicti bisa dipahami sebagai waktu tindak pidana dan tempat tindak pidana.

Tags:

Berita Terkait