Aturan yang Hambat Hak Memilih Resmi Diuji
Berita

Aturan yang Hambat Hak Memilih Resmi Diuji

MK diminta segera memutus permohonan ini agar KPU tidak terhambat secara teknis dalam menindaklanjuti putusan MK ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Kita meminta supaya proses penghitungan dapat selesai pada hari yang sama pada saat pemungutan suara. Upaya ini dilakukan agar tidak menimbulkan masalah legalitas keabsahan pemilu.”

 

Lalu, Pasal 348 ayat (4) mengatur tentang pindah memilih. Menurutnya, pemilih yang pindah untuk memilih berpotensi kehilangan suaranya dalam pemilihan legislatif. Sedangkan, Pasal 348 ayat (9) terkait penggunaan e-KTP bisa untuk memilih. Ia menilai aturan ini membuat pemilih yang tidak memiliki e-KTP dengan jumlah sekitar 4 juta orang berpotensi kehilangan hak pilihnya.

 

“Dua warga binaan di Lapas Tangerang, Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar ini tidak punya e-KTP. Mereka tidak terdaftar, tidak bisa memilih karena tidak ada TPS khusus di sana yang bisa melayani teman-teman semacam ini. Ini jumlahnya tidak tahu," kata dia.

 

Dia mengutip Putusan MK Nomor 01–017/PUU-I/2003 yang menyebutkan hak rakyat untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Karena itu, pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih.  

 

Selain itu, lanjut Denny, menurut Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, hak rakyat untuk memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional ini tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. (Baca Juga: Potensi Persulit Hak Memilih, UU Pemilu Dipersoalkan)

 

Beberapa pertimbangan

Direktur Perludem, Titi Anggraini mengatakan ada beberapa pertimbangan atau alasan pengajuan permohonan ini. Pertama, memastikan asas pemilu, setiap warga negara harus dijamin hak pilihnya secara sungguh-sungguh dalam Pemilu 2019. Jadi, Pemilu 2019 ini harus konstitusional karena tidak boleh satu suara pemilih pun yang terciderai. Sebab, formulasi regulasi pemilu tersebut belum sepenuhnya menangkap fenomena sosial di masyarakat yang bisa berpotensi menghilangkan jutaan suara pemilih.

 

“Entah ini karena faktor persyaratan atau kompleksitas teknis pelaksanaan di lapangan?” ujar Titi.

 

Kedua, Pemilu Serentak 2019 ini merupakan pemilu yang sangat kompetitif. Karena itu, demi kepastian hukum, KPU harus bisa bekerja dengan landasan hukum yang kuat. Meskipun, ada beberapa terobosan yang dilakukan KPU untuk menjamin pemenuhan hak pilih warga negara, tetapi kami ingin memastikan bahwa KPU betul-betul bisa bekerja berdasarkan kepastian hukum yang kuat, yang tidak membuka diskursus baru dalam pelaksanaan pemilu.

Tags:

Berita Terkait