Aspek Hukum Cross Border Insolvency Dalam Undang-undang Kepailitan
Ricardo Simanjuntak(*)

Aspek Hukum Cross Border Insolvency Dalam Undang-undang Kepailitan

Undang-undang No.4/1998 tentang Kepailitan (UUK) mengatur ketentuan tentang tata cara penyelesaian secara hukum konflik utang-piutang antara kreditur dan debitur melalui Pengadilan Niaga di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

Pasal 203 (ayat 1 dan 2) UUK:

Si berpiutang, yang telah memindahkan piutangnya terhadap si pailit, seluruhnya atau sebagian, kepada seorang ke tiga, dengan maksud supaya orang ini seluruhnya atau sebagian secara menyendiri atau secara didahulukan dari pada orang-orang lain, untuk piutang tersebut dapat mengambil pelunasannya dari barang-barang si pailit yang terletak di luar wilayah Indonesia, diwajibkan mengganti kepada harta pailit apa yang diperolehnya secara demikian tadi.

Kecuali apabila dibuktikan sebaliknya, maka tiap pemindahan piutang harus dianggap telah dilakukan dengan maksud seperti tersebut di atas, apabila itu dilakukan sedang diketahuinya bahwa pernyataan pailit sudah atau akan dimintakan.

Disamping melalui langkah yang dilarang oleh pasal 202 UUK di atas, langkah untuk mendapatkan pembayaran melalui jalan samping dapat juga dilakukan dengan cara mengalihkan atau menjual hak tagih terhadap debitur pailit --yang sudah diperkirakan akan sulit mendapatkan pemenuhannya tersebut–- kepada pihak ke tiga  yang berdomisili hukum di wilayah negara asing dimana aset tersebut berada. Selanjutnya, si penerima hak tagih dapat melalui pengadilan meminta  hak pelunasan dari tagihan  tersebut melalui aset debitur pailit yang ada di wilayahnya  sebagai pelunasan hak tagih yang telah dimilikinya.

Hak mendapatkan lebih dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang dimiliki oleh kreditur konkuren tersebut membuat secara hukum  kurator berhak meminta dan atau memaksa kreditur konkuren tersebut untuk mengembalikan apa yang di perolehnya. Yang menjadi permasalahan dalam hal ini, apabila kreditur konkuren tersebut sengaja menjual tagihannya tersebut kepada pihak ke tiga di luar negeri di tempat aset debitur pailit berada dengan harga yang rendah. Dengan perhitungan bahwa bilapun harga jual beli yang rendah tersebut dikembalikannya ke budel pailit tetap saja akan memberikan nilai tagih yang lebih besar baginya dalam pembagian yang disepakati kemudian ketika aset tersebut berhasil dieksekusi si pembeli tagihan tersebut di luar negeri. Kasus seperti ini mamang hampir berada di luar jangkauan dari sistem hukum Indonesia untuk membuktikannya.

Pasal 204 (ayat 1 dan 2) UUK:

Begitupun diwajibkan mengganti kepada harta pailit, barang siapa yang memindahkan utang atau piutangnya seluruhnya atau sebagian kepada seorang ketiga, yang karena itu mendapat kesempatan  untuk menjumpakan utang atau piutang tersebut dengan suatu piutang atau utang di luar Indonesia yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang.

Ayat kedua dari pasal yang lalu adalah berlaku.  

Pasal 204 UUK diatas mengatur pelarangan aktivitas sampingan yang mungkin saja dapat dilakukan kreditur konkuren, khususnya dalam hal  adanya debitur dari debitur pailit yang kebetulan berdomisili di luar negeri. Dalam situasi dimana kreditur konkuren tersebut menjual tagihannya kepada debitur pailit tersebut kepada orang ketiga di wilayah debitur dari debitur pailit tersebut berada, untuk kemudian akan di jual kembali kepada debitur dari debitur pailit tersebut dimana debitur pailit tersebut  kemudian dengan memperjumpakan utang tersebut  (set off) secara lebih cepat dan murah.

Atau, tindakan tersebut dapat saja dilakukan secara langsung dimana kreditur konkuren Indonesia tersebut menjual langsung tagihan tersebut kepada debitur dari debitur pailit yang berada di luar negeri  dimana debitur tersebut akan memperjumpakan piutang yang dibelinya tersebut terhadap utangnya kepada debitur pailit.

Tags: