Aspek Hukum Cross Border Insolvency Dalam Undang-undang Kepailitan
Ricardo Simanjuntak(*)

Aspek Hukum Cross Border Insolvency Dalam Undang-undang Kepailitan

Undang-undang No.4/1998 tentang Kepailitan (UUK) mengatur ketentuan tentang tata cara penyelesaian secara hukum konflik utang-piutang antara kreditur dan debitur melalui Pengadilan Niaga di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

Singapura dan Malaysia, walaupun belum mampu saling membuka batas wilayah hukum masing-masing untuk saling mengakui dan melaksanakan putusan kepailitan negara masing-masing secara tegas, akan tetapi (mungkin berdasarkan kedekatan sejarah dan sama-sama negara berbasis common law) telah berhasi membangun saling pengertian (International Comity) melalui pengadilan tinggi negara masing-masing untuk mempermudah pelaksanaan putusan pailit tersebut

Dan yang lebih tegas dari hal itu, adalah pengakuan Pemerintah Malaysia (melalui pasal 104 UU Kepailitan negaranya), dan Pemerintah Singapura (melalui pasal 105  UU Kepailitan negaranya) menegaskan adanya kesepakatan antara kedua negara tersebut untuk  saling mengakui dan melaksanakan (mutual recognition and mutual enforcement) putusan dari negara masing-masing terhadap pengangkatan kurator. Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa kurator ataupun administrator yang telah diangkat oleh pengadilan masing-masing secara otomatis telah dapat melaksanakan haknya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta debitur pailit di wilayah masing-masing.

Seandainya putusan-putusan ataupun pertimbangan dari konsekuensi putusan pailit dari satu negara tersebut di negara lainnya dipertanyakan, maka upaya untuk melakukan tindakan penjelasan ataupun litigasi untuk dan atas nama budel pailit tersebut telah secara langsung dapat diwakili oleh kurator bagi debitur pailit. 

Selain kesepakatan yang telah dicapai oleh kedua negara tersebut, ternyata ketentuan hukumnya juga mengindikasikan kemungkinan akan membuka kesepakatan yang sama dengan negara-negara lain.

Di luar Asia, semangat untuk mewujudkan keberlakukan dari prinsip universal  terhadap pelaksanaan putusan suatu negara juga  telah tumbuh lama. Belanda misalnya, telah membangun kesepakatan untuk saling mengakui dan melaksanakan (mutual recognition and mutual enforcement) dari putusan pailit negaranya dengan Belgia melalui penandatanganan Netherlands- Belgian Execution Treaty pada tanggal 28 Maret 1925  Begitu juga dengan  kesepakatan berskala multilateral yang dibangun oleh  negara-negara berdaulat melalui European Union (EU), yang menghasilkan implementasi dari prinsip universal dari putusan pailit dengan terwujudnya wilayah keberlakuan yang lebih besar, melintas lebih dari tujuh belas wilayah  kedaulatan hukum negara-negara anggota EU.

Selain itu, ide mewujudkan prinsip universalitas tersebut juga telah lama dirintis oleh PBB  melalui UNCITRAL  dengan menerbitkan model law tentang cross border insolvency. Diharapkan penerbitan model ini akan dapat mewarnai pemahaman dan proses berpikir para pembacanya, termasuk juga kalangan akademis, universitas dan para perancang hukum yang secara tidak langsung akan membangun keseragaman pendapat dan pemahaman yang akan mempengaruhi keseragaman pembangunan prinsip-prinsip hukum kepailitan di masing-masing negara.

Walaupun pemakaian model law UNCITRAL tersebut belum resmi menjadi proyek penelitian masing-masing negara, akan tetapi secara terbuka telah menjadi bahan acuan berpikir para ahli. Hal ini tercermin dari kertas kerja yang diterbitkan oleh Tim Kerja Cross Border Insolvency Project yang setiap tahun selalu mengadakan pertemuan dengan para ahli-ahli hukum kepailitan dan hukum komersial di negara-negara yang diharapkan akan bersedia membangun kerjasama menuju harmonisasi hukum.

Dengan semangat untuk mewujudkan prinsip universalitas yang memang hampir dianut oleh negara-negara dunia termasuk juga Asia, maka oleh Tim Kerja empat negara --Indonesia,Philipina, Thailand, Korea  Selatan-- yang disponsori oleh Asian Development Bank,  dirancanglah langkah-langkah untuk membangun lobi dan termasuk juga rencana membangun infrastruktur hukum. Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk membangun rasa saling percaya, keseragaman pemahaman dan mungkin suatu saat nanti ikatan hukum untuk saling mengakui dan melaksanakan putusan dari negara masing-masing anggota tersebut pada suatu saat.

Tidak hanya Indonesia, bagi negara-negara lain, tentu saja hal ini tidak mudah. Contohnya, apabila putusan pailit dan akibat hukumnya diperlakukan, apakah hak-hak dari kreditur yang memegang jaminan seperti yang diatur dalam pasal 1133 KUH perdata, yang diwujudkan dalam, misalnya, lembaga penanggungan melalui UU no. 4 tahun 1996, gadai Padal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUH  Perdata, dan Fidusia berdasarkan UU no. 42 tahun 1999, dapat dipahami oleh hukum negara lain dalam hal melakukan eksekusi hak krediturnya di Indonesia, berhadapan dengan kreditur dari debitur pailit yang ada di Indonesia?

Atau sebaliknya, ketika eksekusi putusan pailit Indonesia hendak dilaksanakan ke luar wilayah hukum Indonesia, apakah hak-hak preferen yang dibangun (dalam beberapa hal secara mandatory) melalui cara yang diatur oleh UU tersebut diatas dapat diberlakukan di negara lain? Tentu saja hal ini bukan merupakan hal yang sederhana.

Sehingga secara simultan, dalam hal pembangunan untuk menuju harmonisasi hukum kepailitan (cross border insolvency), ketentuan hukum yang mengatur penjaminan (secured transaction) juga harus diseragamkan, begitu juga ketentuan hukum acara masing-masing negara, contohnya tentang pembuktian. Hal ini bukan mustahil dilakukan, karena pembangunan keseragaman hukum tersebut sebagai suatu ide yang harus tetap dibangun di negara-negara Asia secara khusus. Apalagi bila diikuti oleh negara Singapura. Bisa dibayangkan berapa besar harta para orang kaya yang menjadi debitur yang sebenarnya sudah harus pailit dan malah telah pailit tidak dapat dijangkau karena berada di luar Indonesia, secara khusus sangat banyak berada di Singapura.

Oleh karena itu, keberadaan ASEAN sebagai wadah kebersamaan yang telah tumbuh dengan baik menjaga hubungan antara anggota-anggotanya, akan menjadi pemain yang penting dalam mempercepat proses pencapaian ide tersebut. Paling tidak seperti Singapura dan Malaysia, walaupun hukum kepailitannya belum secara seratus persen saling bisa dilaksanakan, akan tetapi coss border  bankruptcy dalam hal peran kurator dan pengurus telah berhasil disepakati. Hal ini juga bisa menjadi sasaran awal tim kerja ini melalui lobi ASEAN  sebelum melangkah pada rencana yang lebih tinggi, yaitu harmonisasi hukum kepailitan ASEAN.

Sepanjang pengalaman penulis, hingga saat ini, belum ada tindakan-tindakan yang signifikan sehubungan upaya untuk mencari harta debitur pailit yang berada di luar negeri. Kalaupun ada, belum ada langkah yang penting untuk melakukan upaya hukum untuk mengambil harta tersebut melalui proses relitigasi. Hal ini diperburuk dengan keadaan dimana hampir tidak pernahnya aset dari debitur pailit mencukupi terhadap kewajibannya yang ada. Malahan, rata-rata harta debitur pailit yang tersisa hanya sekitar 25 persen dibanding totali kewajibannya. Hal ini, menimbulkan pertimbangan biaya untuk melakukan pencarian status harta tersebut, termasuk juga dalam upaya untuk melakukan relitigasi di wilayah hukum negara dimana aset tersebut diduga berada.

Tags: