Aset Dirampas Tanpa Putusan Pemidanaan, Bisakah?
Utama

Aset Dirampas Tanpa Putusan Pemidanaan, Bisakah?

Penting dicatat, untuk melakukan perampasan aset tak perlu menunggu agar tindak pidana asal (TPA) telah terbukti dan memperoleh putusan inkracht.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Itulah mengapa ada atau tidak adanya subjek tak masalah karena prinsip dasar implementasi NCB bukan sebanyak-banyaknya menghukum orang, melainkan mengejar dan mengembalikan kembali uang Negara yang dicurangi.

 

Lantas bagaimana dengan aset hasil kejahatan yang masih dalam status kepemilikan seseorang (subjek hukum)? Yunus menyebut tak ada pencederaan atas prinsip due process of law dalam penerapan NCB ini, mengingat pasca putusan pengadilan soal perampasan asset dikeluarkan, tetap pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan bantahan. Di situlah prinsip pembalikan beban pembuktian berlaku, di mana terduga pelaku harus mampu membuktikan asal usul asetnya.

 

“Jika tak mampu buktikan itu, baru dilakukan perampasan. Lain jika tak ada subjeknya, maka tak perlu ada pembalikan beban pembuktian itu,” terangnya.

 

Untuk diketahui, singkatnya proses perampasan aset itu diawali dengan penelusuran aset yang kewenangan melakukan itu diberikan pada penyidik atau penuntun umum (PU). Setelah ditelusuri dan diperoleh dugaan kuat mengenai asal-usul aset tersebut maka penyidik atau PU dapat memerintahkan pemblokiran yang dapat diikuti dengan penyitaan. Pemblokiran ini, dilakukan paling lama 30 hari sejak perintah pemblokiran diterima dan dapat diperpanjang selama 30 hari.

 

Pihak yang sedang menguasai aset dapat mengajukan keberatan atas penyitaan ini, namun penyidik atau PU yang menjalankan tugasnya dengan iktikad baik tak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Setelah masa pemblokiran, perampasan aset dilakukan bila memang aset yang dimiliki seseorang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaannya serta tak mampu membuktikan asal usul perolehan asetnya tersebut.

 

Intinya, katanya, jangan sampai Negara ‘berat di ongkos’ dalam menegakkan hukum namun tak mendapatkan apapun. Misalnya saja dalam kasus korupsi Akil Mochtar yang dipenjara seumur hidup, berarti seumur hidupnya Negara membiayai makan dan tempat tinggalnya. Semangat menghukum yang begitu tinggi itulah yang mengakibatkan penjara menjadi overcapacity, sementara perolehan hasil pengembalian aset Negara yang dicurangi itu tak kunjung kembali.

 

“Jangan prioritaskan mengejar orang, follow the money jangan follow the person. Takutnya nanti Negara kecolongan,” tutupnya.

 

Tags:

Berita Terkait