Aset Dirampas Tanpa Putusan Pemidanaan, Bisakah?
Utama

Aset Dirampas Tanpa Putusan Pemidanaan, Bisakah?

Penting dicatat, untuk melakukan perampasan aset tak perlu menunggu agar tindak pidana asal (TPA) telah terbukti dan memperoleh putusan inkracht.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam acara diskusi publik bertema
Para pembicara dalam acara diskusi publik bertema "Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan", Kamis (25/4). Foto: HMQ

Semakin lama aset hasil kejahatan didiamkan, semakin besar pula potensi asset tersebut dipindahtangankan, barang bukti dihancurkan, nilainya berkurang bahkan hilang. Dilemanya, bila perampasan asset baru bisa dilakukan jika sudah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (innkracht), maka impian Negara untuk mengembalikan uang hasil kejahatan ke pangkuan Negara hanya sebatas isapan jempol belaka.

 

Urgensi akan ‘kecepatan waktu’ perampasan aset itulah yang melatarbelakangi sebuah konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB AF) diberlakukan di beberapa Negara, khususnya Negara-negara dengan common law system seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia atau ada juga di negara civil law seperti Columbia.

 

Bahkan untuk kasus korupsi, PBB melalui United Nation Convention against Corruption (UNCAC) tahun 2003 telah memasukkan norma yang mengharuskan Negara-negara peserta konvensi untuk memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan sekalipun tanpa melalui proses tuntutan pidana (vide: Pasal 54 ayat (1) huruf c).

 

Pasal a quo kemudian menjadi salah satu acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana di Indonesia sejak 2012 lalu. Ironisnya, hampir satu dekade sudah Indonesia menggagas RUU tersebut, hingga kini RUU yang diharapkan bakal memayungi seluruh prosedur perampasan aset tersebut tak sekalipun muncul dalam daftar prioritas tahunan prolegnas di DPR. Persoalannya, dalam kasus mati atau melarikan dirinya terduga pelaku, jika pendekatan perampasan aset tetap harus melalui penghukuman terhadap pelaku maka aset tersebut tak akan pernah bisa dieksekusi.

 

Diakui oleh Penasehat KPK, Budi Santoso, selama ini di Indonesia memang belum ada aturan khusus yang memungkinkan KPK menyita aset kekayaan Negara yang tak jelas asal usulnya. Kendati telah diatur dalam UNCAC, katanya, tetap saja dalam pelaksanaannya kerap terbentur oleh persoalan hak asasi seseorang dalam hak kepemilikan atas benda (kekayaannya) termasuk persoalan keharusan adanya proses pembuktian di pengadilan (proses peradilan yang adil). Padahal tak sepatutnya nilai-nilai kebenaran materiil tergeser oleh batasan kebenaran formil terkait asal usul kejahatan itu sendiri.

 

Lebih lanjut, dia mengatakan dengan sudah diaturnya ketentuan perampasan asset tanpa pemidanaan dalam UNCAC, seharusnya KPK bisa memaksimalkan perampasan itu melalui RUU Perampasan Aset. Apalagi, UU Tipikor memungkinkan dilakukannya peradilan in absentia. Hanya saja, Budi mencatat setidaknya ada 4 tantangan yang penting dikaji bila hendak memberlakukan NCB AF di Indonesia, Pertama, Pemahaman tehadap Insentif dan disinsentif, Kedua, kemungkinan benturan antara prinsip due process of law/Rule of Law dengan komitmen penegakan NCB, Ketiga, Sistem peradilan atau Independensi peradilan dalam implementasi NCB. Keempat, Hukum atas hak kebendaan.

 

“Terkait rule of law perlu dipertimbangkan pula implementasinya di lintas yurisdiksi, bagaimana suatu asset yang dirampas melalui NCB dapat pula disita di Negara lain tempat asset itu berada,” katanya dalam diskusi bertema "Perampasan Aset Tanpa Pemidanaa", Kamis (25/4).

 

Adapun soal pengaturan spesifik mengenai NCB, Budi beranggapan sudah tepat jika dituangkan dalam RUU PA bukan UU Tipikor. Menurutnya, jika NCB diatur dalam RUU PA maka cakupannya akan lebih luas, sehingga dapat pula diterapkan terhadap tindak pidana selain korupsi. Selain untuk kasus korupsi, NCB nyatanya telah banyak diterapkan di Indonesia dalam kasus perampasan asset hasil kejahatan narkotika.

 

(Baca: Dampak MLA Indonesia-Swiss Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Lintas Negara)

 

Diterangkan oleh Direktur Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Badan Narkotika Nasional (BNN), Bahagia Daichi bahwa proses penyidikan dalam TPPU yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010, yakni mengharuskan adanya predicate crime (tindak pidana asal/TPA) dalam hal ini adalah tindak pidana narkotika. Tanpa adanya TPA, kata Dachi, maka penyidikan TPPU tak akan bisa dilakukan. Bahkan, suatu TPPU yang sudah jelas ‘ada’ TPA-nya belum tentu bisa langsung dilakukan perampasan aset. Hal itu dikarenakan atas setiap kasus harus dipastikan kesesuaian dengan Tempus Delicti.

 

“Misalnya, UU TPPU baru terbit pada tahun 2010, sementara perampasan asset itu dilakukan pada tahun 2009. Itu kan enggak masuk akal,” tukasnya.

 

Penting dicatat, untuk melakukan perampasan aset tak perlu menunggu agar TPA telah terbukti dan memperoleh putusan inkracht. Karena kalau menunggu inckracht maka proses agar aset itu bisa diamankan akan begitu panjang. “Kalau harus menunggu itu, terus enggak bisa diproses TPPU-nya, bisa amblas. Efeknya dengan banyaknya perkembangan teknologi sekarang itu aset bisa lari ke luar negeri,” pungkasnya.

 

Biasanya di BNN, sambung Daichi, begitu kasus predicate crime nya ditangani, setelah sesaat itu juga BNN akan melakukan penyidikan terhadap TPPU (berbarengan). Sekalipun begitu, bukan berarti proses NCB itu mengesampingkan proses peradilan, misalnya bagaimana kita melakukan upaya paksa, pemanggilan, penyitaan penggeledahan, tetap harus ada bukti permulaan yang cukup. Adapun terkait penelusuran aset-aset, pihaknya merasa sangat terbantu oleh PPATK, terutama untuk layering asset uang pada perbankan.

 

“Kemudian kita dibantu juga oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang lain, seperti money changer dan lainnya. Karena mereka itu pintu-pintu untuk melakukan replacement atau layering asset ke mana-mana,” ungkapnya.

 

Ditambahkan Ketua STIH Jentera, Yunus Husein, implementasi penerapan NCB ini tak terlepas dari adanya konsep pembalikan beban pembuktian kepada pelaku (dalam hal pelakunya ada) serta penerapan pengadilan in absentia (dalam hal pelakunya meninggal atau hilang). Yang paling penting dalam NCB ini adalah pertarungan Negara dengan asset, bukan dengan orang (subjek).

 

Itulah mengapa ada atau tidak adanya subjek tak masalah karena prinsip dasar implementasi NCB bukan sebanyak-banyaknya menghukum orang, melainkan mengejar dan mengembalikan kembali uang Negara yang dicurangi.

 

Lantas bagaimana dengan aset hasil kejahatan yang masih dalam status kepemilikan seseorang (subjek hukum)? Yunus menyebut tak ada pencederaan atas prinsip due process of law dalam penerapan NCB ini, mengingat pasca putusan pengadilan soal perampasan asset dikeluarkan, tetap pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan bantahan. Di situlah prinsip pembalikan beban pembuktian berlaku, di mana terduga pelaku harus mampu membuktikan asal usul asetnya.

 

“Jika tak mampu buktikan itu, baru dilakukan perampasan. Lain jika tak ada subjeknya, maka tak perlu ada pembalikan beban pembuktian itu,” terangnya.

 

Untuk diketahui, singkatnya proses perampasan aset itu diawali dengan penelusuran aset yang kewenangan melakukan itu diberikan pada penyidik atau penuntun umum (PU). Setelah ditelusuri dan diperoleh dugaan kuat mengenai asal-usul aset tersebut maka penyidik atau PU dapat memerintahkan pemblokiran yang dapat diikuti dengan penyitaan. Pemblokiran ini, dilakukan paling lama 30 hari sejak perintah pemblokiran diterima dan dapat diperpanjang selama 30 hari.

 

Pihak yang sedang menguasai aset dapat mengajukan keberatan atas penyitaan ini, namun penyidik atau PU yang menjalankan tugasnya dengan iktikad baik tak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Setelah masa pemblokiran, perampasan aset dilakukan bila memang aset yang dimiliki seseorang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaannya serta tak mampu membuktikan asal usul perolehan asetnya tersebut.

 

Intinya, katanya, jangan sampai Negara ‘berat di ongkos’ dalam menegakkan hukum namun tak mendapatkan apapun. Misalnya saja dalam kasus korupsi Akil Mochtar yang dipenjara seumur hidup, berarti seumur hidupnya Negara membiayai makan dan tempat tinggalnya. Semangat menghukum yang begitu tinggi itulah yang mengakibatkan penjara menjadi overcapacity, sementara perolehan hasil pengembalian aset Negara yang dicurangi itu tak kunjung kembali.

 

“Jangan prioritaskan mengejar orang, follow the money jangan follow the person. Takutnya nanti Negara kecolongan,” tutupnya.

 

Tags:

Berita Terkait