Arif Havas Oegroseno: Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan Prosedurnya
Terbaru

Arif Havas Oegroseno: Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan Prosedurnya

Benarkah Perjanjian Ekstardisi Indonesia-Singapura tidak akan efektif karena sistem hukum kedua negara berbeda?

CRN/Rzk
Bacaan 2 Menit
Arif Havas Oegroseno: Dalam Perjanjian Ekstradisi, yang Penting Bukan Prosedurnya
Hukumonline

 

Arif yang tercatat sebagai alumnus Universitas Diponegoro dan University of Harvard adalah salah satu perwakian dari Deplu yang intens mengawal proses perundingan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura. Selain itu, Pria kelahiran Semarang 12 Maret 1963 ini juga cukup berpengalaman di beberapa perundingan bilateral lainnya, salah satunya adalah Perundingan Delimitasi Batas Laut RI-Malaysia.

 

Bagaimana prosedur ekstradisi yang disepakati dalam Perjanjian Ekstardisi Indonesia-Singapura dan bagaimana prosedur baku yang berlaku secara internasional?

Prosedur ekstardisi itu sebenernya standar. Dalam hukum pidana internasional itu bukan suatu hal yang baru karena sering dilakukan oleh berbagai negara. Kalau kita ingin mengekstradisikan seseorang, yang kita lakukan pertama itu menyampaikan informasi mengenai orang itu kepada negara yang kita minta. Informasinya biasanya mengenai identitas orang. Setelah itu tindak pidananya apa dan peraturan atau undang-undang (UU) dan sumber hukum apa yang dilanggar.

 

Kemudian membuat semacam keterangan dari pihak yang berwenang, biasanya kejaksaan, yang mengatakan bahwa semua dokumen-dokumen ini sudah lengkap untuk digunakan sebagai dasar permintaan ekstradisi. Kalau dia itu terdakwa, harus disertai dengan surat penangkapan. Sementara kalau dia itu sudah terpidana, dilampirkan dengan keputusan hakim. Dokumen itu disampaikan ke negara yang kita mintakan, dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung) Singapura. Nanti Kejagung Singapura akan mengajukan pada hakim Singapura untuk segera memulai sidang untuk meminta penetapan ekstradisi terhadap orang tersebut.

 

Prosedur itu sama dengan yang berlaku untuk Indonesia. Kalau kita pelajari UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, jika Indonesia diminta negara lain untuk mengekstradisi seseorang, Kejagung RI akan memeriksa surat-suratnya dulu, lalu mengajukan kepada Pengadilan Negeri (PN) untuk segera memulai persidangan. Menurut UU tersebut dan berdasarkan prinsip yang berlaku internasional, sidang ekstradisi adalah persidangan yang didahulukan karena dianggap penting (urgent).

 

Apakah Perjanjian Ekstardisi Indonesia-Singapura secara spesifik juga mengatur tentang teknis kapan proses ekstradisi dilakukan?

Tidak ada satupun perjanjian ekstradisi di dunia ini yang mengatur seperti itu. Makanya, dalam perjanjian ekstradisi itu yang penting bukan prosedurnya, tapi penentuan crime-nya. Yang alot itu di sana. Kalau untuk prosedur semuanya di dunia sama, dokumen dikumpulkan lalu disampaikan ke kejaksaan. Nanti kejaksaan yang melakukan proses.

 

Sejauh ini kita sudah memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain, seperti Australia, Hong Kong dan Filipina. Apa ada perbedaannya dengan Singapura?

Antara perjanjian ekstradisi yang satu dengan perjanjian ekstradisi yang lain sebetulnya tidak begitu banyak bedanya. Perbedaannya itu dalam hal putusan dan penetapan. Kalau singapura itu sama dengan kita, cukup dengan penetapan magistrate –semacam PN-, bukan dengan keputusan.

 

Sementara kalau Australia, permohonan ekstradisi -misalnya kasus Hendra Rahardja- diajukan ke PN atau magistrate, lalu dibawa ke Federal Court, lalu dibawa ke Full Federal Court, lalu dibawa high court, kemudian terakhir Supreme Court. Pada akhirnya oleh Supreme Court Hendra Rahardja memang dinyatakan harus diekstradisi. Setelah ditentukan harinya dan ditentukan siapa yang jemput dari polisi, tapi ketika hendak dijemput orangnya sakit, terus meninggal.

 

Di Australia, putusan itu di-challenge (ajukan perlawanan, red.) sampai ke atas. Sekarang kan beberapa pengacara selalu mengatakan bahwa Perjanjian Ekstardisi Indonesia-Singapura tidak akan efektif karena sistem hukum Singapura sama dengan sistem hukum Australia. Salah itu!.

 

Jadi, kalau dengan Australia harus dengan putusan, sementara kalau dengan Singapura cukup dengan penetapan?

Iya. Hongkong Magistrate First Court, Filipina juga sama dengan kita

 

Menurut Anda, apakah perjanjian ekstradisi yang selama ini Indonesia buat dengan negara lain, berjalan efektif?

Cukup efektif, (buktinya, red.) kita mengembalikan banyak orang.

 

Apa makna Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura bagi Indonesia dan apa kendala yang mungkin terjadi?

Begini, perjanjian ekstradisi itu kan dimaksudkan untuk dua hal. Yaitu untuk menangkap yang sudah lari dan untuk menjadi detterence (efek jera, red.). Jadi orang tidak akan lagi lari ke Singapura karena orang akan berpikir seribu kali untuk lari ke sana.

 

Kalau ditanya para pengusaha-pengusaha itu (koruptor, red.), mereka khawatir semua. Akhirnya yang muncul sekarang itu kekhawatiran akan lobi-lobi dari mereka  supaya ini gagal. Kalau kita lihat, dari sekian banyak perjanjian ekstradisi yang sudah kita punya, ini yang paling heboh.

 

Buat indonesia, perjanjian ekstradisi itu merupakan suatu kewajiban internasional, karena kita sudah menjadi pihak dalam konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (UNCAC --red). Dalam UNCAC itu jelas dibuat tiga alat untuk menangkap koruptor. Pertama, perjanjian ekstradisi. Kedua, Mutual Legal Assistance (MLA). Dan ketiga, asset recovery (pengembalian aset --red) dengan cara gugatan perdata tanpa ada tuntutan pidana. Itu yang kita lakukan sekarang.

 

Kapan naskah Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura akan dibuka ke publik, termasuk DPR?

Ya, secepatnya karena kita harus terjemahkan dulu. Bahasa hukum itu kan rumit, jadi harus diterjemahkan dulu dalam bahasa Indonesia yang baik dan juga diberikan semacam keterangan yang utuh mengenai maksud dari pasal-pasalnya. Pokoknya, harus komprehensif, karena kalau tidak nanti orang yang baca tidak terlalu paham lalu berkomentar.

 

Patut diketahui, Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura bukanlah perjanjian ekstradisi pertama yang dimiliki Indonesia. Selama Republik ini berdiri, sejumlah perjanjian ekstradisi dengan negara lain Australia, Hongkong, dan Filipina telah terlebih dulu eksis. Beberapa diantaranya, bahkan dilengkapi dengan perjanjian bantuan timbal-balik dibidang hukum (Mutual Legal Assistance). Selain itu, walaupun sedikit usang, Indonesia juga memiliki UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

 

Perjanjian Ekstradisi Lainnya

UU No. 9 Tahun 1974

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI EKSTRADISI

UU No. 10 Tahun 1976

PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPPINA SERTA PROTOKOL

UU No. 2 Tahun 1978

PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND TENTANG EKSTRADISI

UU No. 8 Tahun 1994

PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UU No. 1 Tahun 2001

PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI

 

 

27 April 2007 menjadi momen bersejarah bagi dua negara serumpun, Indonesia dan Singapura. Bertempat di Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali, perwakilan pemerintah kedua negara akhirnya, setelah melalui proses perundingan selama tiga dasawarsa, menandatangani Perjanjian Ekstradisi. Secara bersamaan, kedua negara juga menandatangani perjanjian pertahanan.

 

Naskah perjanjian yang belakangan menjadi pembicaraan hangat ini sayangnya masih tidak jelas rimbanya. Jangankan publik, anggota DPR pun terutama  yang tergabung dalam Komisi I mengaku sulit mendapatkan naskah perjanjian tersebut. Sejumlah instansi terkait terkesan enggan membuka detil isi perjanjian, Kejaksaan selaku pihak yang paling berkepentingan dengan perjanjian ini pun hanya berani mempublikasikan jenis-jenis kejahatan (list of crimes) yang telah disepakati.

 

Terlepas dari itu, sebagian kalangan menyambut penandatangan perjanjian ini dengan rasa optimis dan yakin bahwa ini adalah angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi. Tidak dapat dipungkiri, perjanjian yang baru saja ditandatangani memang bak kunci untuk membuka pintu Negeri Singa yang selama ini dijadikan rumah pelarian oleh para tersangka, terdakwa atau terpidana yang sepertinya alergi terhadap proses hukum Indonesia.

 

Namun, apakah harapan yang begitu besar sejalan dengan kenyataan dan praktek yang sudah ada? Apakah Singapura akan semudah itu menyerahkan orang yang dimintakan ekstradisi? Bagaimana sebenarnya mekanisme ekstradisi yang disepekati oleh kedua negara? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat mengemuka. Infomasi yang berkembang mengisyaratkan bahwa akan ada sejumlah kendala dalam mengimplementasikan perjanjian ini.

 

Untuk mencoba menguak ‘misteri' yang menyelimuti penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, hukumonline berkesempatan mewawancarai Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri (5/5).

Halaman Selanjutnya:
Tags: