Arbitrase Asing: Dulu, Kini dan Nanti Oleh: A Haryono
Ceritanya Orang Hukum

Arbitrase Asing: Dulu, Kini dan Nanti Oleh: A Haryono

​​​​​​​Arbitrase masih menyimpan banyak masalah yang membuat Indonesia terkenal sebagai negara yang sulit untuk mengeksekusi putusan arbitrase, khususnya arbitrase asing.

Hukumpedia
Bacaan 2 Menit

 

Terhadap keputusan wasit yang dijatuhkan pada tingkat pertama, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 163 RO., dapat diajukan permohonan banding pada hooggerechtshof, bila pokok sengketa bernilai lebih dari f 500, -, kecuali jika dalam kompromi dengan tegas dinyatakan, bahwa para pihak melepaskan haknya untuk naik banding. (Rv. 618, 642 dst.)

 

Dalam Perkara No. 1/1959, Majelis Hakim yang terdiri dari Mr. R. Wirjono Prodjodikoro, Mr. M. H. Tirtamidjaja dan Mr. R. Subekti menilai bahwa para pihak dalam sengketa arbitrase yang telah melepaskan haknya mengajukan banding dan Peraturan Lembaga (dalam perkara ini Reglemen Panitya Arbitrasi O.E.H.I.), permohonan bandingnya haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.

 

Sedangkan Perkara No. 225/1976, MARI membatalkan putusan tingkat pertama dan menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang apabila para pihak telah sepakat menunjuk lembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Putusan MARI tersebut sejalan dengan beberapa putusan-putusan di era yang sama yang menolak mengadili sengketa yang terdapat klausul arbitrase di dalamnya. Sudah seharusnya seluruh pihak menghormati asas pacta sunt servanda.

 

Perkara PT Nizwar No. 228/1979/P

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.. 228/1979/P antara Navigation Maritime Bulgere melawan PT Nizwar merupakan pembuka perubahan rezim pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.  pada awalnya pihak Navigation Maritime Bulgere berhasil mendapatkan Penetapan Fiat eksekusi terhadap putusan Badan Arbitrase di London. Yang dijadikan dasar adalah ratifikasi Hindia Belanda terhadap Konvensi Jenewa 26 September 1927. Selain itu, Konferensi Meja Bundar  (KMB) juga dijadikan dasar terikatnya Indonesia terhadap ratifikasi Konvensi Jenewa 26 September 1927 tersebut.

 

Pada saat penetapan tersebut diperiksa dalam tahap kasasi, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981. Namun MARI membatalkan Penetapan PN Jakarta Pusat tersebut dengan alasan bahwa putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, Indonesia tidak mutlak terikat pada KMB dan Konvensi New York masih butuh aturan pelaksanaannya di Indonesia.

 

Dalam putusan tersebut MARI menyatakan perlu untuk menentukan Pengadilan Negeri mana atau  MARI yang berwenang untuk mempertimbangkan apakah suatu putusan arbitrase asing tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia.

 

Arbitrase Pasca New York Convention

Melanjutkan pandangan MARI pada perkara PT Nizwar di atas, setelah diratifikasinya Konvensi New York, MARI lalu mengeluarkan aturan pelaksanaan yaitu PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait