Apa Kabar Pro Bono Kita? Potret Praktik Pro Bono di Indonesia
Kolom

Apa Kabar Pro Bono Kita? Potret Praktik Pro Bono di Indonesia

​​​​​​​Narasi praktik pro bono di Indonesia pun berkembang tanpa ada data yang menjelaskan potret nyata pelaksanaan pro bono tersebut.

Bacaan 2 Menit

 

Bercampurnya pemahaman antara kedua konsep bantuan hukum ini juga dapat dilihat dari persepsi responden mengenai anjuran advokat memberikan pro bono setidaknya 50 jam per tahun. Sebagian responden menyebutkan bahwa mereka tidak mampu menghitung jumlah layanan pro bono yang pernah diberikan dalam satu tahun disebabkan responden bekerja di LBH setiap harinya selama bertahun-tahun. Jawaban-jawaban responden tersebut menunjukkan bahwa masih banyak advokat yang belum memisahkan Bantuan Hukum (legal aid) dengan Bantuan Hukum Cuma-Cuma (pro bono) secara jelas.

 

Sistem Pelaporan, Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Pro Bono

Selain aturan jumlah jam layanan pro bono, pelaporan pelaksanaan pro bono pun diatur dalam Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Merujuk hasil survei, hanya 20.5% advokat yang menyatakan telah melaporkan pro bono yang dilakukannya.

 

Sebagaimana yang dinyatakan responden, belum berjalan maksimalnya sistem pelaporan pro bono di organisasi advokat, belum adanya penegasan kewajiban bagi advokat untuk melaporkan pro bono yang diberikan, serta belum adanya sanksi bagi yang tidak melaporkan ataupun apreasiasi bagi yang melaporkan pelaksanaan pro bono dapat menjadi faktor-faktor yang memungkinkan minimnya advokat melaporkan pro bono yang diberikan.

 

Belum berjalan maksimalnya sistem pelaporan ini akan berdampak pada tidak terdokumentasikannya kerja-kerja pro bono paraadvokat. Ketiadaan data yang dapat menggambarkan pelaksanaan pro bono secara nyata membuat pengawasan dan evaluasi implementasi pro bono pun tidak dapat berjalan.

 

Kendala Pelaksanaan

Terlepas dari berbagai dinamika praktiknya, mayoritas advokat yang menjadi responden menyatakan dukungannya terhadap adanya pro bono di Indonesia. Sikap ini dapat dipandang sebagai modal dalam implementasi pro bono. Bahwa sebagai pribadi, para advokat menyambut positif adanya pro bono. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya pro bono memiliki kendala-kendala tersendiri.

 

Kendala operasional seperti terbatasnya ketersediaan advokat di daerah-daerah atau persebaran advokat yang masih dirasa belum merata, kendala biaya, dan jauhnya jarak tempuh, menjadi tiga hal yang nyatanya menghambat kerja-kerja pro bono di lapangan. Faktor finansial pribadi semakin berpengaruh jika kasus yang ditangani memiliki jarak tempuh yang jauh dari tempat kerja advokat.

 

Selain itu, minimnya sisa waktu advokat untuk menjalankan kewajiban pro bono disebabkan tingginya beban kerja di kantor yang menyulitkan advokat mendapatkan peluang untuk melakukan kewajiban profesinya. Ditambah lagi faktor yang muncul dari masyarakat sebagai penerima jasa pro bono.

Tags:

Berita Terkait