Apa Dasar Hukum Penetapan Lebaran oleh Menteri Agama? Inilah Penjelasannya
Berita

Apa Dasar Hukum Penetapan Lebaran oleh Menteri Agama? Inilah Penjelasannya

Ada peran Pengadilan Agama.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Perpres Kementerian Agama mengatur bahwa fungsi-fungsi yang diselenggarakan Kementerian Agama. Salah satunya adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan.

 

Berkaitan soal penetapan tanggal lebaran sebagai hari raya umat Islam di Indonesia dengan produk keputusan Menteri Agama, Thobib mengacu pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama). Ada penambahan kewenangan pengadilan agama yang menegaskan kewenangan Menteri Agama dalam penetapan secara nasional untuk awal bulan Ramadhan dan hari lebaran.

 

Pasal 52A UU Peradilan Agama menyebutkan Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Penjelasan pasal ini menyebutkan selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

 

Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah organisasi-organisasi masyarakat Islam di Indonesia pernah mengeluarkan fatwa yang mendukung peran pemerintah tentang penetapan hari lebaran tersebut. “MUI juga sudah memerintahkan dengan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004,” Thobib menambahkan.

 

Fatwa yang dimaksud Thobib dibuat pada 24 Januari 2004 ketika K.H. Ma’ruf Amin menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Judul fatwa tersebut adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Isinya menyatakan bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah c.q. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.

 

(Baca juga: Banyak Fatwa Menuju Legalitas Fatwa)

 

Fatwa itu meminta seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan tersebut. Pada saat yang sama, Menteri Agama diwajibkan berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait dalam penetapan tersebut. Fatwa ini menjadi acuan Kementerian Agama hingga saat ini dalam mengadakan sidang itsbat (penetapan) hari lebaran. “Sebelum tahun 2004, memang masing-masing ormas Islam mengumumkan penetapannya,” ujar Thobib.

 

Mempertimbangkan dimensi sosial dari hari raya Idul Fitri, Kementerian Agama melihat ada urgensi ketertiban sosial yang harus diwujudkan dalam merayakannya secara bersama-sama oleh umat Islam. Thobib menjelaskan, keterlibatan Kementerian Agama sebatas menjadi fasilitator musyawarah bersama perwakilan kelompok-kelompok umat Islam. Jika masih ada yang tidak sepakat, pemerintah tidak melarang bagi yang merayakan berbeda tanggal dari hasil keputusan Menteri Agama.

 

“Tidak ada larangan, itu menurut keyakinannya. Supaya tidak ada saling menyalahkan, pemerintah sebagai pemandu musyawarah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat,” ujar Thobib menutup penjelasannya.

Tags:

Berita Terkait