Apa Dasar Hukum Penetapan Lebaran oleh Menteri Agama? Inilah Penjelasannya
Berita

Apa Dasar Hukum Penetapan Lebaran oleh Menteri Agama? Inilah Penjelasannya

Ada peran Pengadilan Agama.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penentuan hilal Ramadhan dan penetapan Idul Fitri. Foto: RES
Ilustrasi penentuan hilal Ramadhan dan penetapan Idul Fitri. Foto: RES

Indonesia adalah negara berdasar hukum, bukan negara agama. Tetapi negara mengayomi dan mengurus kepentingan agamap-agama yang ada. Misalnya, setiap tahun setidaknya selalu terbit surat keputusan Menteri Agama untuk penetapan tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah sebagai hari raya Idul Fitri atau lebaran umat Islam di Indonesia. Setiap penghujung Ramadhan, Menteri Agama lazimnya mengundang para tokoh dan organisasi keagamaan untuk membahas penetapan hari lebaran.

 

Lalu, darimana kewenangan menetapkan hari raya Idul Fitri itu? UUD 1945 menyatakan Indonesia adalah negara hukum dan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak ada satu kata pun yang memberikan legitimasi kuat bahwa pemerintah sebagai kekuasaan eksekutif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berwenang atas urusan ibadah umat Islam di Indonesia.

 

Merujuk Pasal 29 UUD 1945 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sekilas, penetapan tanggal lebaran sebagai hari raya umat Islam di Indonesia dengan produk keputusan Menteri Agama terasa tidak cocok dengan jaminan kemerdekaan tersebut. Tetapi hukum positif memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat mengurusi masalah agama.

 

Thobib Al-Asyhar menjelaskan bahwa penetapan oleh Menteri Agama dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan sesuai mandat hukum positif untuk urusan agama. “Itu untuk menyatukan umat Islam, menghilangkan perbedaan pendapat. Dalam hukum Islam, ada prinsip ketetapan pemerintah sebagai ulil amri bisa menghilangkan perbedaan dari sekian banyak perbedaan fikih,” kata Kepala Bagian Ortala, Kepegawaian, dan Hukum Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama itu saat dihubungi hukumonline, Senin (27/5).

 

(Baca juga: Perbedaan Itsbat Waktu Idul Fitri Bisa Dibawa ke Pengadilan Agama)

 

Merujuk Keputusan Menteri Agama No. 368 Tahun 2018 tentang Penetapan Tanggal 1 Syawal 1439 H atau hari raya Idul Fitri tahun lalu, disebutkan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum.

 

Pertama, Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Perpres Organisasi Kementerian Negara). Kedua, Perpres No. 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Perpres Kementerian Agama). Keduanya menjadi peraturan pelaksana dari UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara).

 

Pasal 4 UU Kementerian Negara mengatur bahwa urusan agama termasuk urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam konstitusi. Pengelolaannya dilakukan oleh satu Kementerian khusus yang disebut Kementerian Agama berdasarkan Perpres Organisasi Kementerian Negara. Kewenangan pusat itu juga ditegaskan lebih lanjut dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

 

Perpres Kementerian Agama mengatur bahwa fungsi-fungsi yang diselenggarakan Kementerian Agama. Salah satunya adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan.

 

Berkaitan soal penetapan tanggal lebaran sebagai hari raya umat Islam di Indonesia dengan produk keputusan Menteri Agama, Thobib mengacu pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama). Ada penambahan kewenangan pengadilan agama yang menegaskan kewenangan Menteri Agama dalam penetapan secara nasional untuk awal bulan Ramadhan dan hari lebaran.

 

Pasal 52A UU Peradilan Agama menyebutkan Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Penjelasan pasal ini menyebutkan selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

 

Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah organisasi-organisasi masyarakat Islam di Indonesia pernah mengeluarkan fatwa yang mendukung peran pemerintah tentang penetapan hari lebaran tersebut. “MUI juga sudah memerintahkan dengan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004,” Thobib menambahkan.

 

Fatwa yang dimaksud Thobib dibuat pada 24 Januari 2004 ketika K.H. Ma’ruf Amin menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Judul fatwa tersebut adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Isinya menyatakan bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah c.q. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.

 

(Baca juga: Banyak Fatwa Menuju Legalitas Fatwa)

 

Fatwa itu meminta seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan tersebut. Pada saat yang sama, Menteri Agama diwajibkan berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait dalam penetapan tersebut. Fatwa ini menjadi acuan Kementerian Agama hingga saat ini dalam mengadakan sidang itsbat (penetapan) hari lebaran. “Sebelum tahun 2004, memang masing-masing ormas Islam mengumumkan penetapannya,” ujar Thobib.

 

Mempertimbangkan dimensi sosial dari hari raya Idul Fitri, Kementerian Agama melihat ada urgensi ketertiban sosial yang harus diwujudkan dalam merayakannya secara bersama-sama oleh umat Islam. Thobib menjelaskan, keterlibatan Kementerian Agama sebatas menjadi fasilitator musyawarah bersama perwakilan kelompok-kelompok umat Islam. Jika masih ada yang tidak sepakat, pemerintah tidak melarang bagi yang merayakan berbeda tanggal dari hasil keputusan Menteri Agama.

 

“Tidak ada larangan, itu menurut keyakinannya. Supaya tidak ada saling menyalahkan, pemerintah sebagai pemandu musyawarah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat,” ujar Thobib menutup penjelasannya.

Tags:

Berita Terkait