Ancaman Kebebasan Berekspresi Masih ‘Bercokol’ di RKUHP
Problematika RKUHP:

Ancaman Kebebasan Berekspresi Masih ‘Bercokol’ di RKUHP

Diaturnya kembali pasal-pasal penghinaan dalam RKUHP semakin membelenggu kebebasan berekspresi warga negara lantaran diaturnya pasal kejahatan keamanan (ideologi) negara, penghinaan presiden, penghinaan/ujaran kebencian terhadap pemerintah. Terlebih, saat ini sudah ada UU ITE.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Baca Juga: Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi

 

Tak hanya itu pengaturan terkait kejahatan tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah diatur Bab II dan V dalam RKUHP juga potensi mengancam kebebasan berekspresi. Padahal, pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan terhadap penguasa telah dihapus oleh MK. Namun, oleh pemerintah dimasukan kembali dalam Pasal 284 dan 285 RKUHP ini.

 

“Meski terdapat perubahan delik formil menjadi materil dalam pasal tersebut, penggunaan pasal tersebut bakal amat subjektif digunakan negara dalam membungkam kritik pedas dari masyarakat,” lanjutnya.

 

Selain itu, masuknya kembali tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden seperti diatur Pasal 265 dan 266 RKUHP. Menurutnya, rumusan kedua pasal tersebut tak jauh berbeda dengan rumusan Pasal 134, 136 Bis 137 KUHP yang juga sudah dibatalkan MK. Meski pembahasan pasal tersebut ditunda, namun pemerintah bertahan dengan argumentasi perlunya menjaga martabat presiden dan wakil presiden.

 

“Pasal ini disebut sebagai lesse majeste yang bermaksud menempatkan pemimpin negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik. Padahal, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, materi ketentuan ini (Pasal 134, Pasal 136 Bis, Pasal 137 KUHP) sudah dicabut, diaturnya kembali aturan tersebut sama saja membangkang pada konstitusi,” kritiknya.

 

Menurutnya, memasukan kembali pasal-pasal yang sudah dicabut MK dalam RKUHP tidaklah relevan dengan kekinian (alam demokrasi). Apalagi, pasal penghinaan terhadap kepala negara tidak menyebut tegas pasti dan limitatif tentang perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai penghinaan. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Bahkan, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa dan aparat penegak hukum.

 

“Boleh jadi terhadap sikap publik yang ditujukan ke kepala negara dan tidak disukai dapat diklasifikasikan sebagai penghinaan. Itu berbahaya. Jadi penghinaan ke presiden tidak perlulah diatur. Intinya, kepala negara harus lapor dan jadi delik aduan,” ujarnya.

 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu menilai pasal kebebasan berekspresi terdapat dua hal. Pertama berkaitan dengan kebebasan berekspresi terhadap kekuasaan. Kedua, kebebasan berekspesi terhadap individu. Keduanya, masuk dalam ranah pidana pencemaran nama baik terhadap penguasa yang penegakan hukumnya cenderung subyektif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait