Ancaman Kebebasan Berekspresi Masih ‘Bercokol’ di RKUHP
Problematika RKUHP:

Ancaman Kebebasan Berekspresi Masih ‘Bercokol’ di RKUHP

Diaturnya kembali pasal-pasal penghinaan dalam RKUHP semakin membelenggu kebebasan berekspresi warga negara lantaran diaturnya pasal kejahatan keamanan (ideologi) negara, penghinaan presiden, penghinaan/ujaran kebencian terhadap pemerintah. Terlebih, saat ini sudah ada UU ITE.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurut dia, alasan pemerintah kembali menghidupkan pasal itu lewat Pasal 262, 263, 264 RKUHP (penghinaan presiden/kepala negara) dan Pasal 284, Pasal 285 RKUHP (ujaran kebencian terhadap pemerintah) lantaran setiap orang yang menghina kepala negara lain atau duta besar negara lain yang berada di Indonesia dapat dipidana seperti diatur Pasal 141-144 KUHP.

 

“(Kalau tidak dimasukan) Pemerintah menganggap ada ketidakadilan dan keseimbangan terhadap kepala negara Indonesia. Bagaimana penghormatan terhadap simbol negara kita sendiri kalau dihina? Hal ini agar ada kesetaraan,” dalih perempuan kelahiran 26 Juni 1962 ini.

 

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini, pemerintah sebagai pengusul inisiatif RKUHP ketika menyusun draft RKUHP memperhatikan, membaca ulang, dan mendalami putusan MK terkait penghapusan beberapa pasal dalam KUHP itu.

 

Malahan, kata dia, pemerintah menanyakan langsung ke MK untuk mencari tahu arahan alasan MK menghapus pasal-pasal dalam KUHP yang dinilainya melanggar hak kebebasan berekspresi. “Prinsipnya kita menyusun memperhatikan semua putusan MK. Termasuk Perma-Perma kita perhatikan,” kata dia.

 

Meski begitu, dia mengungkapkan pembahasan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan kebencian terhadap pemerintah ini masih berstatus pending issue. Dalam arti, masih belum clear di tingkat tim perumus dan bakal diboyong dalam rapat kerja antara Panja DPR dan tim pemerintah.  

 

Anggota Panja RKUHP Dossy Iskandar Prasetyo berpendapat presiden sebagai simbol negara semestinya dilindungi nama baiknya. Ia menilai menjadi persoalan ketika kepala negara Indonesia dilecehkan tanpa ada sanksi pidana yang menjangkau perbuatan pelaku, justru menjadi berbahaya. “Setiap orang akan (mudah) menyerang kepala negara dengan dalih instrumen kebebasan bereskpesi, ini yang harus dijaga,” dalihnya.

 

(Baca Juga: Empat Aturan dalam RKUHP Ini Ancam Kebebasan Berekspresi)

 

Baginya, ujaran kebencian/penghinaan terhadap presiden ataupun pemerintah, beberapa tahun belakangan terakhir, semakin masif. “Menyikapi perkembangan itu, bila hukum pidana tidak menjangkau perbuatan itu bakal berdampak terhadap berkehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang menjadi pertimbangan memasukan kembali pasal-pasal yang sudah dihapus MK dari KUHP dalam RKUHP.”

Tags:

Berita Terkait