Amnesty International: RUU Cipta Kerja Berpotensi Merampas Hak Buruh
Berita

Amnesty International: RUU Cipta Kerja Berpotensi Merampas Hak Buruh

Pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM karena akan memberi lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Dalam menetapkan upah minimum, Usman melihat RUU Cipta Kerja tidak lagi mempertimbangkan inflasi dalam menentukan besaran upah minimum. Upah minimum kabupaten/kota (UMK) dihapus, sehingga upah minimum berlaku untuk seluruh daerah tanpa memperhatikan perbedaan biaya hidup setiap wilayah.

“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional,” katanya.

RUU Cipta Kerja juga menghapus batas waktu maksimal perjanjian kerja buruh kontrak dan mekanisme pengangkatan otomatis dari kontrak menjadi tetap. Ketentuan ini menurut Usman memberikan kekuasaan kepada pengusaha untuk mempertahankan status buruh kontrak dalam jangka waktu tak terbatas. Hal ini menyebabkan perlakuan tidak adil bagi buruh karena mereka akan terus menerus menjadi pekerja dengan status tidak tetap dan tidak mendapat perlindungan memadai seperti jaminan pensiun, cuti tahunan, dan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ada juga aturan dalam RUU Cipta Kerja yang bisa membuat buruh bekerja dalam waktu yang lebih lama dengan cara meningkatkan waktu lembur dari 3 jam per hari menjadi 4 jam per hari. Kemudian dari 14 jam menjadi 18 jam kerja per minggu. Bahkan untuk sektor tertentu perusahaan diberi kewenangan untuk membuat skema sendiri terkait perhitungan besaran kompensasi lembur.

Tak hanya itu, Usman berpendapat RUU Cipta Kerja merugikan buruh karena menghapus sejumlah cuti yang dibayar upahnya seperti cuti haid, dan cuti pribadi (menikah, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini berbagai jenis cuti itu merupakan tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

Usman mengkritik proses penyusunan RUU Cipta Kerja karena tidak terbuka. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat buruh sebagai bagian dari konsultasi publik, tapi serikat buruh menolak klaim itu karena mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan. “Ini bukti tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka antara pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunan RUU Cipta Kerja.”

Bagi Usman, serikat buruh harus dilibatkan sejak proses penyusunan karena buruh terdampak langsung dengan RUU Cipta Kerja. Dia juga mengingatkan Pasal 25 kovenan Sipol menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan publik. “Aspirasi buruh harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU Cipta Kerja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait