Amnesty International: RUU Cipta Kerja Berpotensi Merampas Hak Buruh
Berita

Amnesty International: RUU Cipta Kerja Berpotensi Merampas Hak Buruh

Pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM karena akan memberi lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol

Meski kerap dikritik, Pemerintah dan DPR terus mendorong penyelesaian pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional Apindo 2020, Kamis (13/8/2020) kemarin, menyebut pembahasan RUU Cipta Kerja sudah 75 persen. Dia mengklaim RUU ini sangat ditunggu kalangan investor dan dunia usaha.

Beragam kritik bermunculan dari kalangan masyarakat sipil, lembaga negara, kalangan akademisi yang mendesak pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Apalagi, Indonesia masih dilanda pandemi yang terus menunjukan peningkatan angka positif Covid-19.  

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan secara substansi RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan standar HAM internasional. RUU ini dinilai merampas hak buruh atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan sebagaimana dijamin Pasal 7 kovenan Ekosob.

Kondisi kerja yang adil itu, menurut Usman termasuk upah yang sama untuk beban kerja yang sama; lingkungan kerja yang aman dan sehat; serta pembatasan jam kerja yang wajar. Selain itu, perlindungan bagi buruh selama dan setelah masa kehamilan; dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.

Pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulang dan merevisi sejumlah pasal bermasalah. Secara umum, proses legislasi dan substansi RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar HAM dan bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM terutama terkait hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.

“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM karena akan memberi lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja,” kata Usman ketika dikonfirmasi, Jumat (21/8/2020). (Baca Juga: Bahas RUU Cipta Kerja di Masa Reses, DPR Dinilai Ingkar Janji)

Usman mencatat RUU Cipta Kerja merevisi sedikitnya 79 UU dan 3 UU diantaranya meliputi bidang ketenagakerjaan yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; dan UU No.24 Tahun 2014 tentang BPJS. Pemerintah berdalih RUU Cipta Kerja bertujuan untuk meningkatkan investasi dan memudahkan bisnis. “Tapi Amnesty International Indonesia yakin RUU Cipta Kerja ujungnya justru melemahkan perlindungan hak-hak buruh,” tegasnya.

Dalam menetapkan upah minimum, Usman melihat RUU Cipta Kerja tidak lagi mempertimbangkan inflasi dalam menentukan besaran upah minimum. Upah minimum kabupaten/kota (UMK) dihapus, sehingga upah minimum berlaku untuk seluruh daerah tanpa memperhatikan perbedaan biaya hidup setiap wilayah.

“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional,” katanya.

RUU Cipta Kerja juga menghapus batas waktu maksimal perjanjian kerja buruh kontrak dan mekanisme pengangkatan otomatis dari kontrak menjadi tetap. Ketentuan ini menurut Usman memberikan kekuasaan kepada pengusaha untuk mempertahankan status buruh kontrak dalam jangka waktu tak terbatas. Hal ini menyebabkan perlakuan tidak adil bagi buruh karena mereka akan terus menerus menjadi pekerja dengan status tidak tetap dan tidak mendapat perlindungan memadai seperti jaminan pensiun, cuti tahunan, dan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ada juga aturan dalam RUU Cipta Kerja yang bisa membuat buruh bekerja dalam waktu yang lebih lama dengan cara meningkatkan waktu lembur dari 3 jam per hari menjadi 4 jam per hari. Kemudian dari 14 jam menjadi 18 jam kerja per minggu. Bahkan untuk sektor tertentu perusahaan diberi kewenangan untuk membuat skema sendiri terkait perhitungan besaran kompensasi lembur.

Tak hanya itu, Usman berpendapat RUU Cipta Kerja merugikan buruh karena menghapus sejumlah cuti yang dibayar upahnya seperti cuti haid, dan cuti pribadi (menikah, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini berbagai jenis cuti itu merupakan tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

Usman mengkritik proses penyusunan RUU Cipta Kerja karena tidak terbuka. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat buruh sebagai bagian dari konsultasi publik, tapi serikat buruh menolak klaim itu karena mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan. “Ini bukti tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka antara pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunan RUU Cipta Kerja.”

Bagi Usman, serikat buruh harus dilibatkan sejak proses penyusunan karena buruh terdampak langsung dengan RUU Cipta Kerja. Dia juga mengingatkan Pasal 25 kovenan Sipol menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan publik. “Aspirasi buruh harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU Cipta Kerja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait