Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas
Oleh: Al. Wisnubroto *)

Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas

Rasanya mustahil konsumen pada umumnya mengikuti jejak David M.L. Tobing yang rela mengeluarkan biaya perkara jutaan rupiah hanya untuk menggugat pelaku usaha melalui jalur Pengadilan hanya karena tuntutan ganti rugi sebesar seribu rupiah (Baca: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18220&cl=Berita).

Bacaan 2 Menit

 

BPSK nampaknya didesain dengan memadukan kedua sistem hukum tersebut, dimana model SCT diadaptasikan dengan model pengadilan dan model ADR (Alternative Dispute Resolution) khas Indonesia. Hal ini nampak misalnya dari konsep BPSK yang berdasarkan UUPK merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses penyelesaian perkara diatur dengan hukum acara yang amat prosedural layaknya hukum acara perdata di pengadilan negeri. Perpaduan tersebut juga nampak dari terminologi yang dipergunakan di BPSK, misalnya cara penyelesaian sengketa terdapat istilah: Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase yang dikenal dalam ADR, namun pendukung cara penyelesaian tersebut dipergunakan istilah yang dikenal dalam Pengadilan, seperti: Majelis, Panitera, Persidangan dan Putusan.

 

Dengan institusi lembaga penyelesaian sengketa tersebut bisa mempengaruhi sikap dan perilaku anggota BPSK yang lebih merasa sebagai Hakim Pengadilan Konsumen dari pada sebagai Konsiliator, Mediator ataupun Arbiter. Lebih celaka lagi bila sikap dan perilaku tersebut diikuti dengan cara berhukum yang bersifat legal-positivistik.

 

Mengapa cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK harus dihindarkan dari pendekatan hukum yang bersifat legal-positivistik? Pertama, karakteristik sengketa konsumen seringkali bersifat khas dan kompleks sehingga memerlukan cara penyelesaian yang komprehensif. Kedua, pembentukan sistem hukum yang tidak bisa dihindarkan dari pengaruh sistem ekonomi global yang bernuansa neoliberalisme dan kapitalistik, jelas tidak sesuai diterapkan secara biasa (business as usual) pada sengketa konsumen yang tingkat ketimpangan posisi tawarnya amat besar. Ketiga, keberadaan peraturan perundang-undangan (UUPK beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya) amat terbatas dan beberapa substansinya bermasalah.

 

Kekhawatiran BPSK terjebak dalam cara penyelesaian sengketa yang berpangkal pada pemahaman normatif-sempit kiranya cukup beralasan. Pengalaman empiris penulis sebagai anggota BPSK dan pengamatan dalam berinteraksi dengan anggota-anggota BPSK dalam berbagai forum telah menunjukkan adanya kecenderungan tersebut. Dalam forum komunikasi teknis BPSK se-Indonesia misalnya seringkali yang menjadi fokus pembahasan berkisar masalah kendala-kendala operasional yang bersumber dari UUPK dan peraturan pelaksanaannya. Kedudukan BPSK pada Pemerintah Kota/Kabupaten yang nota bene adalah lembaga eksekutif yang amat kental dengan budaya birokratisnya bila mempengaruhi perilaku anggota BPSK.

 

Wacana yang sering sekali muncul adalah adanya tuntutan terwujudnya peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempuna mengenai tata cara penyelesaian sengketa oleh BPSK. Dalam taraf yang parah kadang-kadang pedoman operasionalpun dipahami dan diterapkan secara ketat dan kaku melebihi hukum acara di pengadilan. Akibatnya proses penyelesaian sengketa tidak bisa menghasilkan penyelesaian yang optimal atau bahkan bisa mengalami kegagalan. Seringkali proses mediasi berujung pada putusan sepakat untuk tidak sepakat hanya karena terlalu kaku terhadap aturan batas waktu penyelesaian sengketa. Contoh kegagalan lainnya misalnya pengaduan konsumen ditolak hanya karena terlalu sempit dalam menafsirkan pengertian konsumen akhir atau terlalu sempit dalam menafsirkan domisili konsumen.

 

Jelaslah bahwa cara penyelesaian sengketa konsumen dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik (bertumpu semata-mata pada sistem formal: aturan, keputusan administrasi, prosedur, birokrasi) tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Small Claims Procedures yang semestinya menjadi acuan operasionalisasi lembaga penyelesaian sengketa konsumen semacam BPSK.

 

Butuh Spirit Hukum Progresif

Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada beberapa prinsip yang musti harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen: 1) Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif, mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat; 2) Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability); 3) Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara.

Tags: