Alternatif Meminimalisir Vexatious Litigation
Oleh: Ahmad Rosadi Harahap *)

Alternatif Meminimalisir Vexatious Litigation

Harus diakui perkembangan litigasi di Indonesia saat ini semakin marak dengan aneka dasar gugatan, baik yang diajukan dengan dasar itikad baik (legitimate) maupun tidak (illegitimate).

Bacaan 2 Menit

 

Penulis berani menyatakan bahwa tidak akan ada satu pun advokat yang mau terjun ke dunia litigasi bilamana saran saudara Boen di atas diterapkan. Pada kondisi dunia peradilan yang belum sepenuhnya bebas dari praktik mafia peradilan, saran demikian dapat dimanfaatkan untuk menggiring pekerja bantuan hukum (legal aid worker) dan pembela hak-hak publik (public defender) sebagai pengganggu. Tentunya ini akan membuat advokasi mereka menjadi lemah di hadapan negara ataupun pasar yang memanfaatkan mafia peradilan. Penyedia jasa hukum (legal services worker, lawyer, attorney at law), pun tentu akan menghindari persidangan yang dipimpin oleh seorang hakim yang acap menerapkan klausul gangguan perkara yang disarankan saudara Boen. Tidakkah ini sangat bertentangan dengan prinsip Nemo judex idoneus in propria causa (tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri)?

 

Ketika saran saudara Boen diterapkan dalam dunia litigasi, maka selamanya putusan hakim akan terbebas dari kualifikasi ultrapetite (amar putusan melebihi permohonan para pihak). Hakim tidak lagi terikat pada sistem keperdataan nasional yang mengikat hakim pada prinsip-prinsip Nemo judex sine actore (tiada hakim tanpa pemohon) dan Iudex ne procedat ex officio (hakim pasif menunggu adanya tuntutan). Hakim dapat aktif mendalilkan ketentuan gangguan perkara itu kapapun dan kepada siapapun dalam amar putusannya tanpa dimintai oleh para pihak sesuai prinsip Secunda allegat iudicare (hakim terikat pada peristiwa yang diajukan para pihak). Sebab, sesuai saran saudara Boen tersebut, kini hakim wajib menjalankan perintah hukum untuk menilai suatu gugatan sebagai gangguan atau tidak tanpa perlu mendengarkan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara (Audi et alteram partem).

 

Lebih jauh daripada itu, prinsip Ius curia novit (hakim selalu dianggap tahu mengenai hukumnya) menjadi tidak penting lagi bagi hakim. Jika hakim karena alasan tertentu, katakanlah, malas menjalankan tugasnya karena beban perkara yang menumpuk, cukuplah baginya memeriksa suatu perkara dengan dalil vexatious litigation tanpa perlu repot-repot membolak-balik kitab undang-undang atau yurisprudensi yang terkait, apatah lagi menggali hukum sesuai tugas utamanya sebagai judge made law. Kondisi ini tentunya bertentangan dengan intensionalitas tulisan saudara Boen itu sendiri yang merindukan putusan-putusan hakim kita berwibawa seperti di masa lalu.

 

Judicial Dictatorship

Sungguh sangat absurd saran-saran yang selalu mengutamakan mekanisme legislasi dalam menuntaskan suatu masalah yang ada di tengah-tengah kehidupan sosial kita belakangan ini. Reformasi tidaklah selamanya menata-ulang (re) bentuk-bentuk (form) kelembagaan sosial yang ada. Reformasi harusnya menata-ulang bentuk-bentuk pola pikir dan sikap mental warisan Orde Baru ala P-4 yang penuh formalitas hukum itu. Reformasi harusnya mengkristal dalam wujud akhir berupa moral yang lebih beritikad baik secara substansial (reflexive ‘reformasi', jika boleh meminjam istilah Ulrich Back dalam bukunya The Reinvention of Politics: Towards a Theory of Reflexive Modernization, Polity Press, Cambridge, UK, 1994). Dan individu, masyarakat, pasar, serta negara yang bermoral itikad baik (good faith) secara substansial selamanya tak akan membutuhkan suatu perangkat hukum anti vexatious litigation itu, bahkan hukum formal itu sendiri secara keseluruhan. Hukumnya adalah moralnya, sanksinya adalah batinnya, reward-nya adalah harga dirinya (self-esteem). Singkatnya, hukum harusnya diterapkan sebagai a minimal tool bagi rekayasa masyarakatnya.

 

Masih ingatkah kita semua bagaimana hukum Orde Baru lewat cara-cara instrumentasi kepres-kepres Soeharto. Bukankah rejim Orde Baru itu sangat lawful? Sadarkah kita apa yang menyebabkan kasus-kasus Cendana sulit dituntaskan secara hukum hingga hari ini? Nah, terhadap hal ini kita layak menyebutnya sebagai vexatious state, dalam khasanah hukum ketatanegaraan disebut: constitusional dictatorship (cf. disertasi Prof. Hamid Attamimi, 1990: 114). Sadar atau tidak, saran saudara Boen itu sesungguhnya sedang menciptakan hakim-hakim dengan putusan yang didasarkan pada pertimbangan hukum tunggal – vexatious litigation. Selanjutnya, kita tinggal menunggu munculnya suatu rezim diktator baru: judicial dictatorship.

 

Jika sidang pembaca sepakat dengan tulisan ini, maka untuk meminimalisir vexatious litigation sebagaimana concern Saudara Boen, biarkanlah segala potensi kemanusiaan tergugat (barangkali lebih tepat kecakapan teknis kuasa hukumnya – red) yang menghadapi segala potensi kebinatangan penggugat yang mengganggu itu. Dan terhadap advokat yang bersedia mendampinginya, biarkanlah rejim UU Advokat No. 18 Tahun 2003 yang menanganinya lewat lembaga kode etik PERADI. Adapun terhadap para hakim, biarlah irah-irah-nya yang menilai sendiri.

 

*) Penulis adalah advokat, pernah bekerja sebagai Pekerja Bantuan Hukum (PBH) di LBH Bandung dan mantan Pembela Umum (Public Defender) di LBH Jakarta.

 

Tags: