Alternatif Meminimalisir Vexatious Litigation
Oleh: Ahmad Rosadi Harahap *)

Alternatif Meminimalisir Vexatious Litigation

Harus diakui perkembangan litigasi di Indonesia saat ini semakin marak dengan aneka dasar gugatan, baik yang diajukan dengan dasar itikad baik (legitimate) maupun tidak (illegitimate).

Bacaan 2 Menit

 

Vexatious Mitigation

Kegagalan upaya meminimalisir praktik-praktik gangguan perkara yang ditawarkan saudara Boen lewat tulisannya itu pada dasarnya terletak pada identifikasi masalah yang salah, sehingga solusi yang ditawarkannya pun otomatis menjadi keliru (vexatious mitigation).

 

Dalam rangka meminimalisir praktik-praktik gangguan perkara ini, Boen menawarkan saran untuk menciptakan suatu ‘sistem punishment yang ampuh' dalam bentuk sebuah ‘hukum yang mengatur bahwa pihak yang terbukti melakukan vexatious litigation wajib mengganti kerugian kepada tergugat'. Boen mendasarkan sistem punishment ini pada kegagalan tanggung jawab hakim dalam mempersonifikasikan zietsgeist masyarakatnya lewat putusan-putusan ‘dengan pertimbangan hukum yang tidak dapat dimengerti oleh akal sehat penulis, seringkali majelis hakim yang memeriksa gugatan semacam ini malah menerima dan mengabulkan', atau ‘ambisi para hakim untuk menjadi tenar' dan karena ‘penurunan kualitas hakim-hakim' dibandingkan era Mahkamah Agung bawah pimpinan Subekti dan Oemar Senoadji.

 

Solusi tersebut cukup arbitrer karena identifikasi masalah kualitas hakim dalam menjalankan kewenangan yudikatifnya, dialihkan menjadi masalah penggugat dalam menjalankan hak konstitusionilnya untuk mengajukan suatu gugatan. Sementara tergugat menjadi pihak yang diuntungkan yang secara pasif berpeluang mendapatkan kompensasi ketika hakim perdata boleh aktif dalam mengkualifikasi apakah gugatan penggugat termasuk dalam kategori vexatious atau tidak lewat introdusir sanksi hukum PMH oleh hakim atas praktik-praktik gangguan perkaranya itu.

 

Menurut hemat penulis, kegagalan seorang hakim dalam menjalankan prinsip Ius Curia Novit (hakim dianggap tahu mengenai hukumnya) sebagaimana terkandung dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, janganlah dibebankan kepada penggugat sebagai gangguan perkara. Sebab, dalam rejim hukum acara kita sebenarnya tanggung jawab penggugat demikian sudah difasilitasi lewat gugatan rekonvensi tergugat dalam jawabannya atas gugatan penggugat. Bisa dibayangkan kemudian jika hakim SECARA AKTIF boleh mengkategorikan rekonvensi ini sebagai suatu vexatious reclaim (rekonvensi gangguan) berdasarkan aturan hukum sebagaimana saran saudara Boen di atas.

 

Hal ini perlu disampaikan, sebab, jika solusi yang ditawarkan saudara Boen disepakati, maka budaya legisme hakim kita akan semakin menjauh dari zeitsgeist masyarakatnya ketika hukum positif tidak responsif bagi rasa keadilan, serta tergugat (seringkali negara dan otoritas publiknya) dapat dengan nyaman berlindung di balik jubah hakim lewat prinsip vexatious litigation. Tentu kondisi ini tidak sesuai dengan pesan Nonet dan Selznick yang merumuskan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan dan masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasarkan hukum. Tujuannya, agar hukum tidak tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri (lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hal. 73).

 

Selain itu, dengan pemberian kewenangan kepada hakim untuk memberi sanksi tertentu terhadap gangguan perkara, maka hak seseorang yang merasa dirugikan kepentingan hukumnya akan semakin sulit ditegakkan. Sebab, pihak penggugat tidak saja akan berhadapan dengan pihak tergugat, tetapi juga dengan hukum (tentang vexatious litigation) dan hakim yang berwenang menyatakan bahwa gugatan itu mengganggu atau tidak. Ketiga pihak tersebut dapat mengarahkan persidangan gugatan menjadi trivial (lihat A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, Fourth Edition, Elevent Immpression, Oxford University Press, Oxford, 1994, hal. 1418, entry kosakata vex, yang maknanya memang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat minor [anger or annoy somebody, especially with trivial matters]).

 

Idealnya, menurut hemat Penulis, praktik-praktik gangguan perkara ini tetap dibebankan kepada para pihak saja untuk menghadapi sendiri. Adapun hakim perdata haruslah tetap berperan PASIF sebagai WASIT. Bila tergugat melakukan rekonvensi, hakim selanjutnya dapat menjatuhkan putusan yang amarnya sesuai isi rekonvensi itu. Contoh kasus yang diangkat saudara Boen sendiri, yakni putusan Pengadilan Negeri Bengkalis No. 05/PDT.G/2003/PN.BKS dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Perkara Bulog melawan PT Goro Bathara Sakti-Tommy Soeharto menunjukkan cara-cara hakim yang konsisten memerankan fungsi wasit dalam mengeliminir praktik gangguan perkara ini, yakni tergantung dalil-dalil para pihak. Dalam kedua kasus ini, pihak tergugatlah yang telah mendalilkan kualifikasi penggugat sebagai tidak beritikad baik, bukan hakim (hakim menerima eksepsi doli praesentis dalam perkara yang pertama, dan rekonvensi tergugat dikabulkan hakim pada perkara yang kedua). Hakim hanya memutuskan bahwa dalil tergugat lebih kuat daripada dalil penggugat, terlepas apakah dalam perkara tersebut para pihak maupun hakim mendasarkan dalil/pertimbangan hukumnya pada doktrin vexatious litigation atau tidak.

Tags: