Alasan Force Majeur yang Berimplikasi PHK Karyawan
Utama

Alasan Force Majeur yang Berimplikasi PHK Karyawan

Meski diperbolehkan secara UU, PHK harus dihindari dan merupakan jalan akhir yang diambil pelaku usaha. Pemerintah juga harus memberikan sejumlah insentif kepada pelaku usaha, seperti penangguhan iuran JKN BPJS serta biaya produksi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengimbau sejumlah langkah yang bisa ditempuh seperti tidak memperpanjang PKWT, mengurangi upah, dan fasilitas manajer serta direktur, mengurangi shift kerja, membatasi/menghapus kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan buruh untuk sementara waktu. Sebelum melaksanakan langkah itu tentu saja harus dibicarakan dan disepakati pengusaha dengan serikat pekerja atau wakil pekerja di perusahaan yang bersangkutan.

 

PHK Tetap Terjadi Meski Tanpa Keppres

Menanggapi hubungan antara force majeur dengan PHK, peneliti bidang industri dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho menyatakan tekanan ekonomi akibat Covid-19 menyebabkan risiko besar terjadinya PHK massal khususnya sektor usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM). Menurutnya, jumlah PHK yang dirilis Kemenaker sebanyak 1,5 juta dalam waktu kurang 10 hari sudah menggambarkan sulitnya kondisi dunia usaha saat ini.

 

“Gambaran PHK yang diberikan oleh Kemenaker sebanyak 1,5 juta hanya dalam kurun waktu tidak sampai 10 hari sudah menggambarkan kondisi sulit ini. Meskipun memang ada beberapa sektor yang masih berjalan karena permintaannya cukup tinggi,” jelas Andry kepada hukumonline, Selasa (14/4).

 

Menurut Andry, risiko PHK tetap tinggi meski tanpa status bencana nasional yang ditetapkan melalui Keppres 12/2020. Dia memperkirakan gelombang tinggi PHK akan terjadi pada kuartal 2 tahun ini.

 

Dia menambahkan “dirumahkan” karyawan termasuk buruh merupakan risiko paling buruk selain PHK. Menurutnya, dengan “dirumahkan” karyawan tidak mendapatkan pesangon atau haknya. “Pekerja yang dirumahkan ini bisa jadi celah sebetulnya bagi pelaku bisnis untuk memberhentikan karyawannya namun tidak memberikan pesangon sebagai hak dari karyawan.

 

Keputusan ini diambil tentu saja karena pelaku industri belum memiliki kapasitas yang cukup untuk berproduksi tetapi sudah terkena dampak di awal kuartal pertama. Mereka bisa saja melakukan itu karena tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar pesangon,” jelas Andry.

 

Atas kondisi tersebut, Andry menyarankan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan pembukaan pekerjaan sementara atau temporary jobs bagi pekerja yang terkena PHK atau “dirumahkan”. Pekerja tersebut disalurkan pada sektor-sektor yang saat ini dibutuhkan misalnya petugas medis kesehatan, petugas logistik pangan, sampai teknisi jaringan internet dan seluler.

Tags:

Berita Terkait