Alasan DPD Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja
Berita

Alasan DPD Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja

Mulai bertentangan dengan asas otonomi daerah, melanggar hak asasi manusia, menimbulkan ketidakpastian hukum, hingga bertentangan putusan MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

“RUU tentang Cipta Kerja telah menghilangkan makna gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat (1) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda,” katanya.

 

Langgar prosedur formal

Terpisah, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi mengatakan keputusan Baleg DPR membentuk Panitia Kerja RUU Cipta Kerja semestinya ditolak karena melanggar prosedur formal legislasi. Dia menilai langkah tersebut bentuk penyimpangan dari prosedur pembentukan UU dalam Tata Tertib DPR.

 

“Melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta akan menutup transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja,” uja kata Fajri dalam keterangannya, Senin (20/4/2020).

 

Pasal 151 ayat (1) Peraturan DPR tentang Tatib terbaru yang disahkan 2 April 2020 menyebutkan, “Pembahasan RUU dalam Panja dilakukan setelah Rapat Kerja (Raker) antara komisi, gabungan komisi, Baleg, Panitia Khusus, atau Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili Presiden”. Sedangkan Pasal 154 ayat (1) mengatur tentang rapat kerja (Raker) membahas seluruh materi RUU sesuai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari setiap Fraksi di DPR atau DPD apabila RUU terkait dengan kewenangannya.

 

Sementara Pasal 156 ayat (1) Tata Tertib DPR menyebutkan Raker menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk mendapatkan masukan terhadap RUU yang sedang dibahas. Namun, dalam Raker pertama yang digelar Selasa (14/4/2020) kemarin mengagendakan kesepakatan penjadwalan penyusunan dan penyerahan DIM RUU Cipta Kerja.

 

“Namun, dalam Raker tersebut, pimpinan Raker langsung membentuk Panja. Seharusnya, sebelum membentuk Panja, Baleg melakukan rangkaian Raker membahas seluruh materi muatan RUU dengan menggunakan DIM sesuai dengan Tata Tertib DPR,” kritiknya.

 

Fajri menerangkan pelaksanaan rapat dengar pendapat umum merupakan bentuk pelaksanaan pelibatan partisipasi publik yang menjadi amanat Pasal 96 UU12/2011. Sementara Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 mengatur keharusan kemudahan akses bagi publik dalam mendapatkan dokumen draf RUU.

 

Dalam situasi bencana nasional Covid-19, publik memiliki keterbatasan dalam mengawal penyusunan dan pembahasan RUU di luar DPR. Menurutnya, praktik pembahasan RUU oleh Panja di luar Gedung DPR menyulitkan akses publik mengawal dan melakukan pemantauan. “Perlu dicatat juga sampai sekarang DPR belum mengeluarkan protokol partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi, pengawasan, dan anggarannya mengingat keterbatasan mobilitas publik dalam situasi bencana nasional Covid-19,” katanya.

Tags:

Berita Terkait