Alasan DPD Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja
Berita

Alasan DPD Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja

Mulai bertentangan dengan asas otonomi daerah, melanggar hak asasi manusia, menimbulkan ketidakpastian hukum, hingga bertentangan putusan MK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Hanya saja, DPD berkeberatan jika dilibatkan membahas RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi dalam dua bulan terakhir. Apalagi, pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam melalui Keppres No. 12 Tahun 2020. Karena itu, DPD pun mengusulkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja hingga masa pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir oleh pemerintah.

 

Menurutnya, komite yang dipimpinnya menyarankan untuk sementara agar DPR, pemerintah, dan DPD membuka ruang masyarakat secara luas memberi masukan terhadap isi dan muatan RUU Cipta Kerja melalui daring. Tak hanya itu, banyaknya jumlah delegasi pembuatan peraturan pelaksana dari RUU Cipta Kerja menjadi sorotan. Tercatat sebanyak 493 Peraturan Pemerintah (PP); 19 Peraturan Presiden (Perpres); dan 4 Peraturan Daerah (Perda) merupakan delegasi aturan turunan  yang nantinya harus dibuat oleh pemerintah dan pemerintah daerah.    

 

“Ini menunjukkan tidak sensitifnya pembentuk undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia yang hyper regulasi,” ujarnya.

 

Bertentangan dengan putusan MK

Senada, Wakil Ketua Komite I Fachrul Razi menilai substansi materi muatan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan melanggar UU No.12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setidaknya, terdapat dua pasal dalam RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundangan dan putusan MK.

Seperti Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang menyatakan PP dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal ini, rumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU 12/2011 dimana PP dalam hierarki peraturan perundangan kedudukannya lebih rendah dari UU, sehingga PP tak dapat membatalkan atau mengubah UU.

Selain itu, Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan Perpres dapat membatalkan Perda. Dengan kata lain, Pasal 166 menabrak atau bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Inti putusan MK  137/PUU-XIII/2015 bahwa pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.

Senator asal Aceh itu berpendapat RUU Cipta Kerja bakal menimbulkan sentralisasi pemerintahan ataupun perizinan. Hal itu berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD Tahun 1945.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait