Aktivis Lingkungan Minta Dunia Perbankan Berkomitmen Cegah Karhutla
Berita

Aktivis Lingkungan Minta Dunia Perbankan Berkomitmen Cegah Karhutla

Kucuran pinjaman dunia perbankan kepada perusahaan perkebunan yang terlibat karhutla ditengarai terus mengalir.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Direktur Eksekutif Jikalahari, Made Ali, menyebutkan, upaya menghentikan karhutla tidak bisa hanya melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan. KLHK sebagai ujung tombak perlu secepatnya menyasar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga jasa keuangan untuk terlibat menghentikan kejahatan terorganisir terkait karhutla dengan mendorong mereka melakukan penapisan investasi dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan melahirkan panduan pembiayaan yang pro natura, yang akan berkontribusi pada pencegahan karhutla. “KLHK juga perlu bekerja sama dengan otoritas keuangan internasional karena kajian membuktikan, pembiayaan ini banyak berasal dari luar Indonesia,” ungkap Made.

OJK sebaiknya segera menuju tahap berikutnya dari Roadmap Keuangan Berkelanjutan, berkoordinasi lebih baik dengan KLHK melalui pertukaran informasi, penciptaan kebijakan pembiayaan yang lebih baik, yang dapat mendorong penegakan hukum. OJK juga seharusnya mampu secara efektif memainkan peran pengawasannya terhadap lembaga jasa keuangan untuk memitigasi risiko sistemik terhadap perekonomian nasional.

Berdasar data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sejak Januari hingga September 2019, jumlah hotspot pada lokasi konsesi kehutanan dan perkebunan terdeteksi sebanyak 837 jumlah korporasi. Terdiri dari Hak Gunan Usaha sebanyak 440, IUPHHK–HT sebanyak 235, IUPHHK–HA sebanyak 162 izin. Pada saat yang sama pemerintah masih terus memberikan klaim bahwa penanganan Karhutla lebih baik dari 2015, dengan mengabaikan fakta ada kenaikan signifikan hotspot hingga 100% selama periode 2016-2019.

Manajer Kampanye WALHI Eksekutif Nasional, Wahyu Perdana menyayangkan sikap pemerintah yang seperti tidak mengakui dan menutup mata kondisi darurat kebakaran hutan di lahan korporasi. Fakta ini menunjukkan pekerjaan rumah pemerintah dalam penegakan hukum terhadap korporasi masih cukup besar. Menurut Wahyu, tidak dieksekusinya putusan-putusan pengadilan atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup dalam kasus-kasus karhutla secara maksimal, menunjukkan tidak seriusnya penegakan hukum.

“Termasuk tidak menyentuh sektor pembiayaan yang mengakibatkan korporasi yang terlibat Karhutla masih terus beroperasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah dari tahun ke tahun,” ujar Wahyu.

Tags:

Berita Terkait