Aktivis Lingkungan Minta Dunia Perbankan Berkomitmen Cegah Karhutla
Berita

Aktivis Lingkungan Minta Dunia Perbankan Berkomitmen Cegah Karhutla

Kucuran pinjaman dunia perbankan kepada perusahaan perkebunan yang terlibat karhutla ditengarai terus mengalir.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Sejumlah aktivis pro lingkungan meminta kalangan perbankan memikirkan ulang pembiayaan perusahaan perkebunan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menghentikan karhutla bukan hanya memaksa mematuhi perusahaan taat pada tata kelola, tetapi juga harus didukung pemangku kepentingan lain seperti penyandang dana ekspansi perusahaan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel operasi 64 perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan 2019. Dari 64 perusahaan yang disegel, sejumlah korporasi sudah ditetapkan sebagai tersangka. Jumlah tersebut dapat bertambah, jika kebakaran di Jambi, Kalimantan Tengah, Riau, dan dan Sumatera Selatan meluas.

Sesuai temuan Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan (TUK Indonesia), yang dilansir di Jakarta, Rabu (30/10), ke-64 perusahaan itu sebenarnya berada di bawah kendali 17 kelompok usaha perusahaan induk yang selama ini sudah dikenal. Karena itu, pemerintah seharusnya tidak sulit melakukan pengawasan. Salah satu yang disorot TUK Indonesia adalah pembiayaan perusahaan-perusahaan dimaksud.

TUK Indonesia menduga 17 kelompok usaha telah menerima setidaknya 19,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS$) dalam bentuk pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan sejak 2015. Untuk itu TUK Indonesia mendorong lembaga jasa keuangan termasuk bank, sebagai pemberi dana, ikut merasa bertanggung jawab terhadap dana publik yang mereka kumpulkan termasuk dana dari nasabah yang terpapar asap. “Tanggung jawab itu salah satunya melalui peran bank dan lembaga non-bank yang aktif untuk menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif TUK Indonesia, Edi Sutrisno dalam jumpa pers, Rabu (30/10), di Jakarta.

Berdasarkan temuan TUK Indonesia, dari 10 bank teratas yang mendanai grup korporasi ini, bank-bank dari Indonesia mewakili bagian pendanaan terbesar, dengan nilai sebesar AS$3,3 miliar dolar AS, diikuti bank dari Tiongkok senilai AS$2,0 miliar, dan bank dari Malaysia sebesar AS$1,9 miliar. Pemberi pinjaman tunggal terbesar untuk kelompok perusahaan ini adalah bank-bank plat merah.

Menurut Edi, ini menunjukkan para penyandang dana grup terbesar yang banyak berasal dari luar Indonesia telah menyebar risiko terhadap kondisi hutan dan lingkungan di Indonesia untuk mencari profit sebesar-besarnya, kemudian menyetorkan keuntungan tersebut kepada pemegang saham dan investor di negeri asalnya.

Edi melanjutkan sejak kebakaran hutan dan lahan besar tahun 2015, pembiayaan yang disediakan oleh para penyandang dana terutama yang berasal dari internasional, tidak mengalami penurunan, bahkan terus tumbuh dan terutama ditujukan untuk membiayai grup bisnis tertentu. Karhutla tahun 2019 ini banyak terjadi di atas lahan gambut. “Dulu Jokowi bilang akan melakukan evaluasi izin, dan di tahun 2019 ini, menyatakan bahwa karhutla adalah produk dari kejahatan terorganisir”, ujarnya.

Direktur Eksekutif Jikalahari, Made Ali, menyebutkan, upaya menghentikan karhutla tidak bisa hanya melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, kehutanan dan perkebunan. KLHK sebagai ujung tombak perlu secepatnya menyasar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga jasa keuangan untuk terlibat menghentikan kejahatan terorganisir terkait karhutla dengan mendorong mereka melakukan penapisan investasi dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan melahirkan panduan pembiayaan yang pro natura, yang akan berkontribusi pada pencegahan karhutla. “KLHK juga perlu bekerja sama dengan otoritas keuangan internasional karena kajian membuktikan, pembiayaan ini banyak berasal dari luar Indonesia,” ungkap Made.

OJK sebaiknya segera menuju tahap berikutnya dari Roadmap Keuangan Berkelanjutan, berkoordinasi lebih baik dengan KLHK melalui pertukaran informasi, penciptaan kebijakan pembiayaan yang lebih baik, yang dapat mendorong penegakan hukum. OJK juga seharusnya mampu secara efektif memainkan peran pengawasannya terhadap lembaga jasa keuangan untuk memitigasi risiko sistemik terhadap perekonomian nasional.

Berdasar data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sejak Januari hingga September 2019, jumlah hotspot pada lokasi konsesi kehutanan dan perkebunan terdeteksi sebanyak 837 jumlah korporasi. Terdiri dari Hak Gunan Usaha sebanyak 440, IUPHHK–HT sebanyak 235, IUPHHK–HA sebanyak 162 izin. Pada saat yang sama pemerintah masih terus memberikan klaim bahwa penanganan Karhutla lebih baik dari 2015, dengan mengabaikan fakta ada kenaikan signifikan hotspot hingga 100% selama periode 2016-2019.

Manajer Kampanye WALHI Eksekutif Nasional, Wahyu Perdana menyayangkan sikap pemerintah yang seperti tidak mengakui dan menutup mata kondisi darurat kebakaran hutan di lahan korporasi. Fakta ini menunjukkan pekerjaan rumah pemerintah dalam penegakan hukum terhadap korporasi masih cukup besar. Menurut Wahyu, tidak dieksekusinya putusan-putusan pengadilan atas ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup dalam kasus-kasus karhutla secara maksimal, menunjukkan tidak seriusnya penegakan hukum.

“Termasuk tidak menyentuh sektor pembiayaan yang mengakibatkan korporasi yang terlibat Karhutla masih terus beroperasi dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah dari tahun ke tahun,” ujar Wahyu.

Tags:

Berita Terkait