Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP
Problematika RKUHP:

Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP

Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam KUHP segera berakhir. Beberapa catatan kritis pun masih dibahas. Akankah KPK di ujung tanduk?

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Kemudian, pemerintah dan DPR semakin intens membahas RKUHP. KPK juga berjibaku melakukan penolakan. KPK kekeuh meminta agar delik-delik korupsi tetap berada di luar KUHP. Akan tetapi, sampai dengan pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR pada 2017, delik-delik khusus, seperti korupsi tidak juga dikeluarkan dari RKUHP.

 

Setidaknya, terdapat 19 pasal tindak pidana korupsi yang dibahas pemerintah bersama DPR. Sebagian besar pasal mengadopsi ketentuan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Sebagian lagi merupakan norma baru dan integrasi dari tindak pidana jabatan.

 

Dari hasil pembahasan, beberapa pasal telah disetujui Panja. Ada pula yang diberikan catatan oleh Panja untuk dibahas dalam tim perumus (Timus) dan tim sinkronisasi (Timsin). Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih mengatakan, saat ini, proses pembahasan masih di Timus dan Timsin. Apabila masih ada pasal yang bermasalah, akan dibawa ke tingkat rapat kerja (Raker).

 

"Memang (pembahasan RKUHP) diharapkan selesainya bulan Desember karena kami berharap Indonesia paling tidak setelah 72 tahun merdeka mempunyai satu UU karya bangsa sendiri. Bukan lagi peninggalan kolonial Belanda, warisan dari Perancis, itu kode penal Perancis," katanya kepada hukumonline saat ditemui di kantornya, Rabu (13/12).

 

Enny menjelaskan, pemerintah sangat berhati-hati merumuskan RKUHP. Jangan sampai pasal-pasal tersebut diuji materi dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) di kemudian hari. Oleh karena itu, pemerintah sangat mencermati masukan dari sekian banyak stakeholder, termasuk aparat penegak hukum. Sebab, penegak hukumlah yang akan menerapkan di lapangan.

 

Salah satu penegak hukum yang pernah diundang dan dimintakan masukan dalam pembahasan RKUHP adalah KPK. Bahkan, pada 2015, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana sempat mendatangi KPK untuk berdiskusi langsung dengan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji.

 

Dalam perkembangan pembahasan RKUHP, KPK kembali diundang untuk memberikan masukan. KPK bersama Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat hadir dalam rapat kerja pembahasan RKUHP dengan Komisi III DPR pada Mei 2017. Sikap KPK sama seperti BNN, tetap menolak.

Tags:

Berita Terkait