Akademisi Uji UU MK Terbaru
Berita

Akademisi Uji UU MK Terbaru

Legal standing pemohon pengujian Perubahan UU MK ini dipertanyakan.

ASh
Bacaan 2 Menit
Pakar HTN, Saldi Isra. Foto: SGP
Pakar HTN, Saldi Isra. Foto: SGP

Sejumlah akademisi telah mendaftarkan pengujian UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, Perubahan UU MK yang baru disahkan beberapa bulan yang lalu itu dinilai berpotensi merusak MK sebagai salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.

 

Kita merasa ada beberapa substansi hasil revisi yang berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen,” kata pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Prof Saldi Isra usai mendaftarkan permohonan UU itu di Gedung MK Jakarta, Jumat (29/7).


Selain Saldi, yang tercatat sebagai pemohon yakni Prof Arief  Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, Moh Ali Syafa'at, Prof Yuliandri, dan Feri Amsari. Mereka didampingi kuasa hukumnya antara lain Nurkholis, Febri Diansyah, Wahyudi Jafar.

 

“Nantinya ada pemohon lain yang akan menyusul agak banyak sepertinya, tetapi jumlahnya belum bisa diketahui dan bisa jadi kawan-kawan lain akan memberi tambahan pasal-pasal mana yang akan diuji. Sekarang ini hanya mendaftarkan dulu,” kata Saldi.  

 

Saldi mengatakan ada beberapa pasal yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 4, Pasal 15, Pasal 27, Pasal 27A, Pasal 57, dan  Pasal 59 Perubahan UU MK. “Pengujian ini UU ini bentuk protes kami yang peduli terhadap hasil legislasi yang buruk,” kata Saldi.  


Saldi menilai ada yang keliru dalam UU itu. Misalnya pasal yang mengatur susunan majelis kehormatan hakim (MKH) MK yang melibatkan unsur pemerintah dan DPR. “Kan agak sulit kalau MKH-nya MK berasal dari institusi lain itu (pemerintah dan DPR, red) yang nanti akan dikiritik dan diperbaiki undang-undangnya oleh MK,” ujar Saldi. 


Selain itu, mereka mempersoalkan aturan pergantian antar waktu (PAW) hakim konstitusi.  Justru, pola yang ada sebelumnya itu sudah benar secara konteks teori. “Kalau ada hakim konstitusi yang berhenti di tengah jalan, seharusnya penggantinya tidak melanjutkan sisa masa jabatan orang yang digantikan (tetapi menjalani masa jabatan lima tahun, red). Kalau di partai politik sih bisa saja seperti itu,” ujarnya.  

Tags: