Akademisi Ini Usul Skema Cuti Melahirkan dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Utama

Akademisi Ini Usul Skema Cuti Melahirkan dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (FH UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim mengusulkan cuti melahirkan secara berjenjang dengan tiga kualifikasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Sedangkan anak kedua dengan fasilitas cuti 3 bulan dengan fasilitas tunjangan melahirkan dan tambahan gizi dan susu untuk ibu dan anak. Sementara anak ketiga, mendapat cuti tiga bulan dengan tanpa tunjangan cuti dan tetap mendapatkan uang gizi dan susu bagi ibu dan anak.

Baginya, usulan tersebut mengadopsi norma yang terjadi di sejumlah negara dengan membagi dengan tiga kelompok. Kelompok pertama yang memberikan cuti minimal atau lebih 6 bulan. Kelompok kedua, negara yang mengatur maksimal cuti 3 bulan. Kelompok ketiga, cuti di bawah dua bulan antara 52 sampai 42 hari.

“Kelompok pertama seperti Kroasia, 406 hari, disusul Albania, Australia, UK, Bosnia Herzegovina, Serbia, montenegro masing-masing 365 hari, Norwegia 322 hari, Bulgaria 227 hari dan Republik Crezh 196 hari dan masing-masingnya tetap mendapat gaji selama cuti melahirkan,” ujarnya.

Ketua Badan Koordinasi Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Wilayah Barat ini berharap keberadaan RUU KIA dapat memberi aspek pengawasan lebih konkrit saat pemberlakuannya kelak. Dia menunjuk Pasal 32 Peraturan Pemerintah (PP) No.33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu Eksklutif yang mengatur kewajiban tempat bekerja menyiapkan ruang laktasi bagi ibu menyusui buah hatinya.

Tapi faktanya, pemenuhan hak ASI ekslusif bagi anak di kalangan ibu bekerja masih jauh dari harapan. Selain itu, lingkungan fisik dan sosial pun kurang mendukung para ibu bekerja untuk memberikan ASI. Alhasil, kondisi tersebut berdampak negatif bagi ibu bekerja serta maupun anaknya.

“Ruang publik belum ramah bagi ibu menyusui. Akibatnya tak sedikit ibu menyusui memompa ASI di tempat yang tak layak,” ujarnya.

Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Gerindra, Putih Sari berpandangan peraturan perundangan yang mengatur kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Problemnya, belum mengakomodir dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. Alhasil, perlu diatur tersendiri kesejahteraan ibu dan anak secara komprehensif.

“Karena itu, Fraksi Partai Gerindra memandang penting dibentuknya UU yang mengatur secara komprehensif mengenai kesejahteraan ibu dan anak,” ujarnya.

Dia merujuk data pendataan keluarga periode 2021 (PK21) yang menyebut jumlah risiko stunting di Indonesia mencapai 21,9 juta keluarga. Hal tersebut diperkuat oleh Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021 yang menyatakan angka prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen. Padahal, pemerintah mempunyai target untuk menurunkan prevalensi hingga 14 persen pada tahun 2024. Karena itu, risiko stunting di Indonesia terbilang cukup tinggi.

Di sisi lain, ibu dan anak merupakan kelompok rentan yang ditunjukkan dengan masih tingginya kematian. Hal itu disebabkan karena kurang terjaminnya penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada 2020 mencapai 10, 25 persen dibandingkan tahun 2019.

Tags:

Berita Terkait