Akademisi Ini Usul Skema Cuti Melahirkan dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Utama

Akademisi Ini Usul Skema Cuti Melahirkan dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (FH UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim mengusulkan cuti melahirkan secara berjenjang dengan tiga kualifikasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) resmi menjadi usul inisiatif DPR. Kendati menuai respons positif bagi banyak kalangan, tapi ada pula yang tak setuju dengan beberapa pengaturan dalam draf RUU, khususnya terkait jangka waktu cuti melahirkan. Seperti dari kalangan pengusaha soal pengaturan cuti. Terlepas pro dan kontra, pengaturan norma dalam RUU KIA harus komprehensif.

“Kami mendorong jangan setengah hati dalam merumuskan norma untuk kepentingan kesejahteraan ibu dan anak,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (FH UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim dalam keterangannya, Senin (4/7/2022).

Studi komparatif dalam sejumlah model norma yang berlaku di sejumlah negara dapat menjadi bahan kajian dalam penyusunan dan pembahasan RUU KIA. Abdul Halim merespons positif keberadaan RUU KIA yang diinsiasi DPR. Sebab, rancangan aturan tersebut menjadi bagian dari amanat konstitusi sebagaimana amanat Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945.

Dia berpandangan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 secara tegas memberi perhatian secara khusus tentang hak anak dalam memperoleh kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Pasal 28H ayat (1) disebutkan dengan kesejahteraan secara umum termasuk ibu dan anak di dalamnya.

Baca Juga

Pria yang menyabet gelar doktor hukum keluarga itu menegaskan sejumlah gagasan dalam RUU KIA pengaturannya secara komprehensif. Baginya, keberadaan RUU tersebut menjadi momentum keberpihakan negara dalam memberikan hak ibu dan anak dalam memperoleh kesejahteraan.

Dia menyoroti rumusan norma pengaturan cuti melahirkan yang menjadi kontra bagi kalangan pengusaha. Halim pun mengusulkan agar dilakukan cuti secara berjenjang dengan kualifikasi seperti saat melahirkan anak pertama diberikan fasilitas cuti maksimal selama 6 bulan dengan memperoleh fasilitas tunjangan melahirkan serta asupan gizi baik untuk ibu maupun anak. 

Sedangkan anak kedua dengan fasilitas cuti 3 bulan dengan fasilitas tunjangan melahirkan dan tambahan gizi dan susu untuk ibu dan anak. Sementara anak ketiga, mendapat cuti tiga bulan dengan tanpa tunjangan cuti dan tetap mendapatkan uang gizi dan susu bagi ibu dan anak.

Baginya, usulan tersebut mengadopsi norma yang terjadi di sejumlah negara dengan membagi dengan tiga kelompok. Kelompok pertama yang memberikan cuti minimal atau lebih 6 bulan. Kelompok kedua, negara yang mengatur maksimal cuti 3 bulan. Kelompok ketiga, cuti di bawah dua bulan antara 52 sampai 42 hari.

“Kelompok pertama seperti Kroasia, 406 hari, disusul Albania, Australia, UK, Bosnia Herzegovina, Serbia, montenegro masing-masing 365 hari, Norwegia 322 hari, Bulgaria 227 hari dan Republik Crezh 196 hari dan masing-masingnya tetap mendapat gaji selama cuti melahirkan,” ujarnya.

Ketua Badan Koordinasi Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Wilayah Barat ini berharap keberadaan RUU KIA dapat memberi aspek pengawasan lebih konkrit saat pemberlakuannya kelak. Dia menunjuk Pasal 32 Peraturan Pemerintah (PP) No.33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu Eksklutif yang mengatur kewajiban tempat bekerja menyiapkan ruang laktasi bagi ibu menyusui buah hatinya.

Tapi faktanya, pemenuhan hak ASI ekslusif bagi anak di kalangan ibu bekerja masih jauh dari harapan. Selain itu, lingkungan fisik dan sosial pun kurang mendukung para ibu bekerja untuk memberikan ASI. Alhasil, kondisi tersebut berdampak negatif bagi ibu bekerja serta maupun anaknya.

“Ruang publik belum ramah bagi ibu menyusui. Akibatnya tak sedikit ibu menyusui memompa ASI di tempat yang tak layak,” ujarnya.

Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Gerindra, Putih Sari berpandangan peraturan perundangan yang mengatur kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Problemnya, belum mengakomodir dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. Alhasil, perlu diatur tersendiri kesejahteraan ibu dan anak secara komprehensif.

“Karena itu, Fraksi Partai Gerindra memandang penting dibentuknya UU yang mengatur secara komprehensif mengenai kesejahteraan ibu dan anak,” ujarnya.

Dia merujuk data pendataan keluarga periode 2021 (PK21) yang menyebut jumlah risiko stunting di Indonesia mencapai 21,9 juta keluarga. Hal tersebut diperkuat oleh Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021 yang menyatakan angka prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen. Padahal, pemerintah mempunyai target untuk menurunkan prevalensi hingga 14 persen pada tahun 2024. Karena itu, risiko stunting di Indonesia terbilang cukup tinggi.

Di sisi lain, ibu dan anak merupakan kelompok rentan yang ditunjukkan dengan masih tingginya kematian. Hal itu disebabkan karena kurang terjaminnya penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada 2020 mencapai 10, 25 persen dibandingkan tahun 2019.

Tags:

Berita Terkait