Dia mengingatkan suatu UU dibentuk secara sistematis dan pasal-pasal yang ada di dalamnya saling berkaitan. Jika satu pasal itu dicabut atau dihapus, maka mempengaruhi pasal lainnya. Begitu pula RUU Cipta Kerja yang mencabut, menghapus, dan mengubah pasal dalam sejumlah UU. Dampaknya, UU yang dicabut, dihapus, atau diubah pasalnya menjadi bolong dan tidak utuh lagi.
“Seharusnya hal itu dilakukan dengan menerbitkan UU baru yang membahas substansi yang sama. Bagaimana bunyi judul RUU Cipta Kerja nanti, apakah UU tentang Perubahan atau UU baru yang mencabut UU lama?”
Posisi tak setara
Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti Andari Yurikosari mengatakan salah satu UU yang terdampak dalam RUU Cipta Kerja yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Andari menyebut ada banyak pasal inti dalam UU No.13 Tahun 2003 yang dicabut, dihapus, dan diubah melalui RUU Cipta Kerja. Misalnya, terkait hubungan kerja yang konsepnya dalam RUU Cipta Kerja menjadi tidak jelas karena “perjanjian kerja” berpotensi dihapus.
Kemudian mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK), Andari menilai RUU Cipta Kerja secara umum menyerahkan penyelesaiannya antara kedua belah pihak yakni antara pekerja dan pengusaha. Sebelumnya, dalam UU No.13 Tahun 2003, prinsipnya semua pihak diminta untuk berupaya mencegah terjadinya PHK dan penyelesaiannya melalui mekanisme yang diatur rinci dan bertingkat.
“Padahal sudah jelas posisi pekerja dan pengusaha tidak setara, tapi ini akan diposisikan setara sebagaimana hukum perdata,” kritiknya.
Andari mengingatkan “napas” UU No.13 Tahun 2003 mengacu Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Andari justru mempertanyakan apa yang menjadi acuan/pedoman RUU Cipta Kerja nantinya karena isinya mengatur banyak sektor.
Wakil Ketua Umum Kadin Shinta W Kamdani menilai wajar jika banyak pihak yang mengkritik RUU Cipta Kerja. Omnibus law ini, menurutnya bentuk terobosan yang coba diterbitkan pemerintah mengingat paket kebijakan ekonomi yang pernah diterbitkan selama ini dirasa belum berdampak signifikan. “Kebijakan perizinan OSS saja praktiknya tidak maksimal dan malah sulit pelaksanaannya. Bukan mempermudah malah menambah proses perizinan,” ujarnya.