Advokat Bukan Penegak Hukum Dalam Perkara Nazaruddin
Kolom

Advokat Bukan Penegak Hukum Dalam Perkara Nazaruddin

Pasal yang mengatur advokat berstatus penegak hukum bertentangan dengan fungsi advokat dan sifat bebas dan independen

Bacaan 2 Menit

 

Keunikan profesi hukum (advokat) yang tidak dimiliki profesi lain ternyata berseberangan dengan UU Advokat yang dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan."

 

Apabila ini diterapkan dalam praktik secara konsekuen maka seorang advokat harus melapor semua perbuatan kriminal (pidana) kliennya kepada polisi dan klien yang melarikan diri harus dilaporkan juga kepada polisi dimana keberadaannya, karena advokat adalah penegak hukum yang mempunyai “police powers” untuk menangkap dan menahan. Dalam perkara Nazaruddin para advokatnya tidak melaporkan keberadaan Nazaruddin karena itu bukan fungsi dan kewajibannya. Tugas mencari dan menangkap Nazaruddin berada di pundak polisi. Justru Pasal 5 ayat (1) ini bertentangan dengan fungsi advokat menurut UU Advokat itu sendiri yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) yang mengatur sebagai berikut (khususnya tentang kerahasiaan): “Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.

 

Padahal urusan menangkap, menahan dan mencari seorang buronan (DPO) serta mengungkap kejahatan adalah tugas polisi dan jaksa bukan tugas seorang advokat. Urusan menangkap, menahan, dan mengungkap kejahatan bukanlah tugas dan kewajiban advokat tetapi adalah tugas polisi dan jaksa. Justru tugas advokat adalah membela kliennya dan dalam pembelaan harus merahasiakan dan menyimpan rahasia klien, pembicaraannya dengan klien, strategi dalam pembelaannya, bukti dan saksi apa yang akan digunakan dan seterusnya.

 

Kalau saja advokat adalah penegak hukum, maka Lawyer-Client Privilege tersebut dilanggar khususnya bagian menyimpan rahasia, strategi pembelaan, pembicaraan antara advokat dengan klien dan lain-lain. Hilanglah kewajiban menyimpan rahasia klien (confidentiality). Jadi pasal yang mengatur advokat berstatus penegak hukum sama sekali bertentangan dengan fungsi advokat dan sifat bebas dan independen sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) UU Advokat itu sendiri dan oleh karena itu UU Advokat harus diamandemen karena kontroversial.

 

Bagaimana dengan nasib para tersangka/terdakwa/terpidana koruptor yang sampai saat ini ada sekitar puluhan yang keberadaannya diluar negeri, yang telah hilang seperti ditelan bumi dan kasusnya seperti tenggelam. Nazaruddin yang sudah menjadi tersangka saat ini sedang menjadi isu besar dalam penegakan hukum Indonesia, telah berbulan-bulan menjadi sorotan masyarakat luas. Kesulitan pemerintah melacak keberadaan Nazaruddin menjadi pertanyaan, karena korupsi sudah bukan lagi menjadi masalah nasional, melainkan sudah menjadi fenomena transnasional sehingga kerjasama internasional menjadi sangat penting dalam memberantas korupsi.

 

Indonesia yang telah meratifikasi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) dalam UU No 7 Tahun 2006 dan telah menyatakan akan ikut serta dalam StAR (Stolen Assset Recovery) initiative seharusnya dapat memanfaatkan kerjasama internasional ini. Apabila advokat memang berstatus penegak hukum, maka para advokat Nazaruddin mempunyai kewajiban membawa pulang yang bersangkutan ke Indonesia dan membeberkan semua perilaku serta pelanggaran hukum Nazaruddin kepada polisi. Jika memang begitu, advokat memiliki “police powers  yaitu “right to arrest atau “right to detain”, sehingga advokat mempunyai kewenangan yang menjadi luas karena selain mendampingi dan membela kliennya, namun juga mempunyai kewajiban untuk menangkap dan menahan kliennya. Ini akan menjadi suatu wewenang yang kontradiktif satu sama lainnya.

 

Memang suasana kebatinan pada waktu RUU Advokat disusun pada tahun 2000-an para advokat menganut spirit ingin dipersamakan atau disejajarkan dengan polisi, jaksa dan hakim dalam konsep “Catur Wangsa” yang diperkenalkan pada tahun 1970-an, sehingga keinginan itu akhirnya diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat . Tetapi konsekuensi pasal tersebut menjadi jauh berbeda dari fungsi sebenarnya profesi advokat (legal profession) yang dikenal secara akademik dan di dunia.

Tags: