Sebagai pasangan yang sama-sama berlatar belakang pendidikan hukum, Addy dan istri tidak pernah memaksakan bahwa suatu saat sang putri harus mengikuti jejak orang tuanya. Meski demikian, pengaruh dari profesi dan lingkungan pertemanan orang tua tak terelakkan sehingga berpengaruh kepada sang anak.
“Pertimbangan-pertimbangan hukum ternyata dia gunakan juga dalam keseharian,” cerita Addy. Bahkan, lanjut Addy, suatu kali putrinya pernah main bersama dengan temannya dan kemudian bertengkar. Sang anak pun melempar pertanyaan bak praktisi hukum yang menguji dengan kritis apakah ada bukti dari suatu peristiwa. Kejadian ini disyukuri Addy karena paling tidak, sang anak sudah familiar dengan pendekatan berbasis data, objektivitas, dan validitas yang kelak akan bermanfaat dalam hidupnya.
Menjalankan perannya sebagai ayah, Addy juga memandang krusial kolaborasi dengan istri atau ibu dari anaknya. Proses bermusyawarah, diskusi panjang lebar dan pengambilan keputusan yang menjadi kesepakatan bersama terbiasa ia lakukan dengan istri. Kalau pun di kemudian hari ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan lagi, maka akan disepakati pula. “Biasanya kalau kita orang hukum sudah familiar dengan addendum. Bahkan nama anak saya terdapat kata ‘Prajanji’ yang artinya perjanjian,” ungkap Addy.
Menyambut momen Hari Ayah kali ini, Addy berpesan kepada seluruh pembaca: Ingatlah bahwa untuk anak perempuan, ayah adalah cinta pertama anaknya. Oleh karenanya, maksimalkan setiap pengalaman bersama dengan anak. Karena dari interaksi-interaksi itulah kesan positif akan dirasakan anak dan terus diingat olehnya. Addy mengenang suatu peristiwa ketika putrinya masih kecil dan mereka sekeluarga sedang naik andong di Yogyakarta. Saat itu, sang anak menunjuk puncak Gunung Merbabu dan mengatakan pada orang tuanya ia ingin ke sana. Bertahun-tahun kemudian, akhirnya ‘janji’ yang terucap itu mereka penuhi bersama.