Ada 2 Salah Paham tentang Penelitian dengan Teori Feminis Hukum
Utama

Ada 2 Salah Paham tentang Penelitian dengan Teori Feminis Hukum

Penelitian sosio legal di awal tetap menganalisis doktrin dan kerangka normatif hukum yang diteliti. Teori feminis hukum dipilih karena relevan dengan topik perempuan berhadapan dengan hukum dalam kasus Baiq Nuril.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit

Teori feminis hukum adalah cara pandang kritis pada produk hukum (tertulis) untuk melihat apakah pengalaman perempuan sebagai kelompok rentan diskriminasi diakomodasi. “Mengapa perempuan dibedakan? Apakah tidak adil? Hal itu karena masih ada pengalaman berbeda para perempuan sampai saat ini,” kata Inge.  

Perspektif teori feminis hukum dikembangkan untuk mengupayakan tatanan dan penerapan hukum yang adil terhadap perempuan sebagai kelompok rentan. Inge menegaskan keberpihakan pada perempuan sebagai kelompok rentan tidak berarti kelompok rentan yang lain tidak penting.

“Misalnya, ada kalangan disabilitas yang mendapat perhatian juga sebagai kelompok rentan lainnya,” kata Inge. Ia menyebut bahwa ada banyak cabang critical legal studies.

Mentari berbagi alasannya menggunakan teori feminis hukum karena objek riset skripsi yang diambil adalah putusan kasus Baiq Nuril. “Saya melihat pengalaman Ibu Baiq Nuril sebagai perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak diakomodasi dalam proses hukum dan putusannya,” kata dia.

Mentari menyebut Baiq Nuril adalah Ibu pekerja dengan tiga orang anak yang terdesak oleh relasi dominan pelaku kekerasan seksual terhadapnya. “Pengalamannya sampai terpaksa menyimpan bukti rekaman percakapan yang dipermasalahkan tidak dipertimbangkan. Bahkan menjelang persidangan belum ada bantuan hukum yang diberikan untuk Ibu Baiq Nuril,” kata Mentari.

“Saya kira banyak yang alergi dengan istilah feminis karena menghubungkan dengan feminisme liberal. Padahal ada banyak cabang feminisme termasuk yang sasarannya spesifik meningkatkan kesejahteraan perempuan sebagai kelompok rentan,” kata Inge menyimpulkan.

Inge mengakui ada pemahaman kalangan masyarakat yang mendikotomikan feminisme dengan spiritualitas atau keyakinan agama. “Feminis hukum ini justru menguatkan keberpihakan pada perempuan sebagai kelompok yang diperlakukan tidak adil. Jangan ragukan keagamisannya,” kata Inge.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait