Abdul Kadir Jailani: Tidak Ada Ketentuan yang Melarang atau Mewajibkan Yurisdiksi Universal
Utama

Abdul Kadir Jailani: Tidak Ada Ketentuan yang Melarang atau Mewajibkan Yurisdiksi Universal

Penerapan yurisdiksi universal merupakan pilihan kebijakan hukum suatu negara. Hasil pengujian UU Pengadilan HAM ini dipandang potensi berdampak pada arah politik hukum dan hubungan luar negeri Indonesia.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Ia melihat terdapat plus-minus (kelebihan dan kekurangan) penerapan yuridiksi universal bagi suatu negara. Dari segi kelebihannya, ada manfaat praktis penerapan yuridiksi universal untuk mendorong terciptanya penghapusan impunitas. Mengingat salah satu kendala penegakan hukum bagi negara adanya yuridiksi terbatas, sehingga tidak dapat menjangkau pelanggaran HAM yang terjadi di luar wilayahnya. Penerapan yuridiksi universal secara teoritis dapat memberi kontribusi konkrit karena bisa mengatasi keterbatasan tersebut.

“Itu plus-nya, intinya kita tahu hukum negara berlaku terbatas, dengan adanya yuridiksi universal mereka bisa memperluasnya dengan harapan pelaku pelanggaran HAM selalu dapat diadili dan dihukum. Namun saat yang sama ada beberapa persoalan fundamental yang perlu dicermati,” kata dia mengingatkan.

Pertama, implikasi yang perlu diperhatikan terkait masih belum tuntasnya definisi dan ruang lingkup yuridiksi universal. “Masyarakat internasional saat ini memang telah menyepakati secara bulat bahwa yuridiksi terbatas dapat diterapkan terhadap bajak laut di laut lepas dan perbudakan. Bahkan untuk Piracy (bajak laut) ini Indonesia juga telah menerapkan Pasal 4 KUHP, tapi hanya untuk pembajakan di laut lepas,” jelasnya.

Menjadi persoalan dalam perkembangan yang terjadi semakin banyak negara yang memperluas ruang lingkup yuridiksi universal hingga berlaku terhadap kejahatan lain. Seperti pelanggaran HAM berat dan terorisme meski ruang lingkupnya masih menjadi isu yang belum tuntas. Kedua, setiap langkah yurisdiksi suatu negara sudah sepatutnya dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip atau aturan hukum internasional yang berlaku.

Sebagai contoh ada kasus di International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional yang disebut Arrest Warrant Case antara Belgia dengan Kongo. Dalam kasus itu, Belgia mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Menteri Luar Negeri (Menlu) Kongo yang dituduh telah melakukan pelanggaran HAM. “Jadi otoritas keamanan penegak hukum Belgia mengeluarkan surat penahanan terhadap Menlu lain karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM di Kongo yang tidak ada hubungannya dengan Belgia.”

Tentu kasus tersebut disoroti negara-negara di dunia, mengingat seorang Menlu jelas mempunyai hak imunitas (diplomatic immunity) yang harus dihormati. Dalam putusan ICJ tidak secara spesifik memberi pandangan tentang legalitas penerapan yurisdiksi universal. Hanya saja, hakim memandang tidak ada norma hukum internasional yang secara spesifik melarang penerapan yurisdiksi universal dan tidak ada pula ketentuan hukum internasional yang mewajibkan penerapan yurisdiksi universal. Dengan kata lain, penerapan yurisdiksi universal merupakan persoalan pilihan kebijakan hukum suatu negara.

Hal lain yang perlu diperhatikan terkait penerapan yurisdiksi universal ialah potensi dampak terhadap politik hubungan internasional. Dengan menerapkan yurisdiksi universal, maka berakibat Indonesia tidak boleh atau tidak dapat menolak penerapan yurisdiksi universal oleh negara lain terhadap WNI. “Secara politis posisi Indonesia akan semakin sulit apabila ada negara lain yang akan mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dapat dipastikan isu ini merupakan isu yang sangat sensitif,” bebernya.

Selain itu, penerapan yurisdiksi universal dikhawatirkan dapat menimbulkan persoalan apabila Indonesia menuntut pelanggaran HAM di suatu negara, padahal pelanggaran HAM tersebut telah atau diselesaikan melalui mekanisme national reconciliation (secara politis). Jelas, dampaknya akan berimbas terhadap tekanan politik luar negeri bagi Indonesia. Terakhir, bagi sebagian besar negara-negara berkembang melihat sasaran yurisdiksi universal hanya terbatas bagi negara berkembang.

“Apapun keputusan MK saya melihatnya akan memperkaya diskursus pengembangan hukum di tanah air, terutama kaitannya dengan hukum (internasional, red) dan politik internasional. Saya pribadi berpandangan sejauh ini tidak ada ketentuan hukum internasional yang melarang atau mewajibkan Indonesia menerapkan yurisdiksi universal guna mengadili pelanggaran HAM di Indonesia. Indonesia memiliki kebebasan untuk menerapkan yuridiksi internasional itu atau tidak. Hal ini pilihan kebijakan hukum yang biasanya diputuskan lembaga legislatif melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan.”

Tags:

Berita Terkait