Abdul Kadir Jailani: Tidak Ada Ketentuan yang Melarang atau Mewajibkan Yurisdiksi Universal
Utama

Abdul Kadir Jailani: Tidak Ada Ketentuan yang Melarang atau Mewajibkan Yurisdiksi Universal

Penerapan yurisdiksi universal merupakan pilihan kebijakan hukum suatu negara. Hasil pengujian UU Pengadilan HAM ini dipandang potensi berdampak pada arah politik hukum dan hubungan luar negeri Indonesia.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jailani. Foto: RES
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jailani. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) tengah memeriksa dan mengadili permohonan uji materiil Pasal 5 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Pasal 5 UU Pengadilan HAM berbunyi, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia

Permohonan ini diajukan Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, Mantan Ketua KPK M. Busyro Muqoddas, serta Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI). Permohonan ini dikuasakan lembaga Themis Indonesia, LBH PP Muhammadiyah, dan LBH Pers yang tergabung dalam Tim Universalitas HAM. Para pemohon menilai terjadi kekosongan hukum pada berbagai peristiwa pelanggaran HAM di dunia. Misalnya, kasus penganiayaan suku Rohingya, pelaku pelanggaran HAM tidak bisa diadili di Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) lantaran Myanmar tidak menjadi pihak yang menandatangani Statuta Roma. Hal ini berimplikasi pada pelaku kejahatan HAM di Myanmar dapat lolos dari jerat hukum.

Para pemohon melihat masih banyak beberapa kasus pelanggaran HAM di masa lalu belum tuntas penyelesaiannya. Melalui pengujian Pasal 5 UU Pengadilan HAM ini, kejahatan HAM di Myanmar dan negara-negara lain di dunia ketika kunjung ke Indonesia bisa diadili di Indonesia. Dalam petitum permohonannya, para pemohon meminta frasa “oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM dinyatakan bertentangan atau tidak sesuai dengan prinsip HAM sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sehingga harus dibatalkan.

Baca Juga:

Menanggapi bergulirnya perkara judicial review (JR) UU Pengadilan HAM itu, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jailani menyampaikan pemikirannya. “Pengajuan permohonan JR UU Pengadilan HAM pastinya kasus menarik. Sebab, tidak hanya akan menentukan arah politik hukum Indonesia, tetapi juga menyangkut pelaksanaan hubungan luar negeri pemerintah Indonesia. Apapun putusan MK mengenai perkara ini pasti akan memperkaya wacana pengembangan hukum nasional,” ujar Abdul Kadir Jailani ketika dihubungi Hukumonline, Selasa (8/11/2022).

Ia menilai dalam berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang menjadi sorotan dunia internasional ini mendorong penerapan yuridiksi universal di Indonesia. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap dapat diadilinya pelaku pelanggaran HAM berat di luar negeri pada Pengadilan HAM Indonesia. Ia menjelaskan sampai saat ini masih belum ada kesatuan pandangan di antara negara-negara dunia mengenai konsep yuridiksi universal.

Menurut Diplomat senior itu yuridiksi universal merupakan kewenangan negara menerapkan yurisdiksi hukum pidananya secara ekstrateritorial terhadap kejahatan tertentu yang oleh masyarakat dunia anggap sebagai musuh bersama umat manusia (public enemy). Penerapan yuridiksi universal ini dilakukan tanpa dikaitkan kewarganegaraan pelaku atau korban serta dampak kejahatan tersebut. Sebagai contoh kejahatan tertentu seperti kejahatan kemanusiaan atau terorisme.

Ia melihat terdapat plus-minus (kelebihan dan kekurangan) penerapan yuridiksi universal bagi suatu negara. Dari segi kelebihannya, ada manfaat praktis penerapan yuridiksi universal untuk mendorong terciptanya penghapusan impunitas. Mengingat salah satu kendala penegakan hukum bagi negara adanya yuridiksi terbatas, sehingga tidak dapat menjangkau pelanggaran HAM yang terjadi di luar wilayahnya. Penerapan yuridiksi universal secara teoritis dapat memberi kontribusi konkrit karena bisa mengatasi keterbatasan tersebut.

“Itu plus-nya, intinya kita tahu hukum negara berlaku terbatas, dengan adanya yuridiksi universal mereka bisa memperluasnya dengan harapan pelaku pelanggaran HAM selalu dapat diadili dan dihukum. Namun saat yang sama ada beberapa persoalan fundamental yang perlu dicermati,” kata dia mengingatkan.

Pertama, implikasi yang perlu diperhatikan terkait masih belum tuntasnya definisi dan ruang lingkup yuridiksi universal. “Masyarakat internasional saat ini memang telah menyepakati secara bulat bahwa yuridiksi terbatas dapat diterapkan terhadap bajak laut di laut lepas dan perbudakan. Bahkan untuk Piracy (bajak laut) ini Indonesia juga telah menerapkan Pasal 4 KUHP, tapi hanya untuk pembajakan di laut lepas,” jelasnya.

Menjadi persoalan dalam perkembangan yang terjadi semakin banyak negara yang memperluas ruang lingkup yuridiksi universal hingga berlaku terhadap kejahatan lain. Seperti pelanggaran HAM berat dan terorisme meski ruang lingkupnya masih menjadi isu yang belum tuntas. Kedua, setiap langkah yurisdiksi suatu negara sudah sepatutnya dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip atau aturan hukum internasional yang berlaku.

Sebagai contoh ada kasus di International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional yang disebut Arrest Warrant Case antara Belgia dengan Kongo. Dalam kasus itu, Belgia mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Menteri Luar Negeri (Menlu) Kongo yang dituduh telah melakukan pelanggaran HAM. “Jadi otoritas keamanan penegak hukum Belgia mengeluarkan surat penahanan terhadap Menlu lain karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM di Kongo yang tidak ada hubungannya dengan Belgia.”

Tentu kasus tersebut disoroti negara-negara di dunia, mengingat seorang Menlu jelas mempunyai hak imunitas (diplomatic immunity) yang harus dihormati. Dalam putusan ICJ tidak secara spesifik memberi pandangan tentang legalitas penerapan yurisdiksi universal. Hanya saja, hakim memandang tidak ada norma hukum internasional yang secara spesifik melarang penerapan yurisdiksi universal dan tidak ada pula ketentuan hukum internasional yang mewajibkan penerapan yurisdiksi universal. Dengan kata lain, penerapan yurisdiksi universal merupakan persoalan pilihan kebijakan hukum suatu negara.

Hal lain yang perlu diperhatikan terkait penerapan yurisdiksi universal ialah potensi dampak terhadap politik hubungan internasional. Dengan menerapkan yurisdiksi universal, maka berakibat Indonesia tidak boleh atau tidak dapat menolak penerapan yurisdiksi universal oleh negara lain terhadap WNI. “Secara politis posisi Indonesia akan semakin sulit apabila ada negara lain yang akan mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dapat dipastikan isu ini merupakan isu yang sangat sensitif,” bebernya.

Selain itu, penerapan yurisdiksi universal dikhawatirkan dapat menimbulkan persoalan apabila Indonesia menuntut pelanggaran HAM di suatu negara, padahal pelanggaran HAM tersebut telah atau diselesaikan melalui mekanisme national reconciliation (secara politis). Jelas, dampaknya akan berimbas terhadap tekanan politik luar negeri bagi Indonesia. Terakhir, bagi sebagian besar negara-negara berkembang melihat sasaran yurisdiksi universal hanya terbatas bagi negara berkembang.

“Apapun keputusan MK saya melihatnya akan memperkaya diskursus pengembangan hukum di tanah air, terutama kaitannya dengan hukum (internasional, red) dan politik internasional. Saya pribadi berpandangan sejauh ini tidak ada ketentuan hukum internasional yang melarang atau mewajibkan Indonesia menerapkan yurisdiksi universal guna mengadili pelanggaran HAM di Indonesia. Indonesia memiliki kebebasan untuk menerapkan yuridiksi internasional itu atau tidak. Hal ini pilihan kebijakan hukum yang biasanya diputuskan lembaga legislatif melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan.”

Tags:

Berita Terkait