8 Catatan Setara Institute terhadap SEMA Perkawinan Beda Agama
Terbaru

8 Catatan Setara Institute terhadap SEMA Perkawinan Beda Agama

SEMA 2/2023 dianggap tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan negara Pancasila. Pemerintah dan DPR perlu merevisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Halili mengingatkan kewajiban negara dalam perkawinan antar warga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi, tapi menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara. Kewajiban negara hanyalah mencatat perkawinan warga negara tersebut dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi terkait.

Kelima, Halili berpendapat lahirnya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan salah satu faktor kausal yang signifikan bagi semakin menguatnya segregasi yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Segregasi berdasarkan agama menjadi semakin dalam ketika paham keagamaan puritan berkembang di Indonesia pada tahun 1970-an dan diakomodasi oleh pemerintahan Orde Baru untuk mendapatkan insentif politik dari kelompok-kelompok keagamaan.

Halili mengingat sebelum dekade itu, pernikahan beda agama adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Dalam suatu keluarga di tengah-tengah masyarakat Indonesia, kakak dan adik biasa berbeda agama, seperti perbedaan agama kedua orang tua mereka. Hal semacam itu dalam tata kebhinekaan Indonesia harus dihormati. Apalagi urusan pernikahan dan agama pada dasarnya merupakan wilayah pribadi tiap-tiap warga.

“Kondisi semacam itu sebenarnya memberikan kontribusi bagi penguatan literasi lintas agama dan pemajuan toleransi. Dalam iklim itulah, gotong royong dan menghormati perbedaan dalam tata kebinekaan dengan sendirinya terbentuk,” ujar Halili.

Keenam, Halili mengatakan lembaganya memandang Indonesia yang berbentuk Republik berdasarkan Pancasila belakangan semakin terpolarisasi dan mengalami segregasi yang semakin kuat. Hal itu didorong bukan hanya oleh berkembangnya paham keagamaan konservatif, tetapi juga difasilitasi oleh regulasi dan perangkat hukum negara yang intoleran dan diskriminatif, di tingkat pusat dan daerah, termasuk SEMA 2/2023.

Ketujuh, Ketua MA harus mencabut SEMA tersebut, sebab secara filosofis, sosiologis, dan yuridis SEMA tersebut tidak sesuai dengan kerohanian negara Pancasila dengan semboyan dasar Bhinneka Tunggal Ika. “SEMA 2/2023 juga bertentangan dengan asas kebebasan hakim dalam proses peradilan,” tegas Halili.

Kedelapan, dalam konteks yang sama, Setara Institute mendorong DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi UU 1/1974. Perkawinan yang sah tidak hanya dilakukan berdasarkan agama, tetapi juga perkawinan sipil. Selain itu, pada pokoknya negara mesti membangun hukum perkawinan yang sesuai dengan Pancasila dan kebhinekaan Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait