7 Catatan Jaksa Agung Terhadap RPP KUHP
Terbaru

7 Catatan Jaksa Agung Terhadap RPP KUHP

Penerapan KUHP Nasional terkait peran jaksa perlu perhatian, khususnya sebagai pemegang asas dominus litis.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin. Foto: CR-27
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin. Foto: CR-27

Pemerintah masih menggodok rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dimandatkan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Banyak ketentuan baru yang harus diperhatikan dalam KUHP Nasional itu, terutama bagi aparat penegak hukum (APH). Begitupula keharusan aparat penegak hukum beradaptasi dengan UU 1/2023.

Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin mencatat banyak ketentuan baru yang dimandatkan KUHP Nasional untuk aparat penegak hukum. Karena itulah korps Kejaksaan perlu mencermati implementasi KUHP Nasional, khususnya peran jaksa sebagai  pengendali perkara sebagaimana asas dominus litis.

“Saya dorong kejaksaan mengawal proses pembahasan RPP tentang KUHP Nasional, ada beberapa poin yang perlu disikapi kejaksaan dalam RPP,” kata Burhanuddin dalam kegiatan peluncuran Blueprint Transformasi Penuntutan di Jakarta, Kamis (1/8/2024) pekan lalu.

Burhanuddin mencatat sedikitnya 7 hal terkait RPP KUHP. Pertama, Pasal 2 UU 1/2023 tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan perlu mengawal ketentuan tersebut sehingga materi yang diatur memberikan peran kepada masyarakat hukum adat untuk melaksanakan norma-norma hukum adat. Hal itu sebagai bentuk perlindungan terhadap hukum adat.

Baca juga:

Kedua, konsep pemaafan hakim sebagaimana Pasal 54 UU 1/2023 yang mengatur pertimbangan dalam pemidanaan. Selaras itu Burhanuddin menjelaskan saat ini pemerintah masih menyusun RPP tentang Keadilan Restoratif atau restorative justice (RJ). Kejaksaan berperan penting mendorong penyelesaian melalui mekanisme RJ sebagai kesatuan proses peradilan pidana. RPP RJ diharapkan bisa mengatur pelaksanaan keadilan restoratif oleh masing-masing institusi aparat penegak hukum.

Ketiga, Pasal 69 ayat (2) yang memandatkan ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun. Burhanuddin menyebut bila mengacu UU No.5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi perubahan pidana itu menjadi ranah Presiden dengan cara memberikan grasi setelah mendapat pertimbangan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait