3 Sebab Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Selalu Rendah
Utama

3 Sebab Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Selalu Rendah

Meliputi pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi pemerataan ekonomi, korupsi politik masih marak, dan penegakan hukum anti korupsi belum efektif.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Ketiga, indikator penegakan hukum anti korupsi belum terbukti efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Wawan menyebut masih kerap ditemukan praktik korupsi di lembaga penegakan hukum. Menurutnya, 3 lembaga yang berwenang memberantas korupsi di Indonesia yakni polisi, jaksa, dan KPK harus bersinergi bukan berjalan sendiri-sendiri.

“Praktik korupsi lazim ditemui di lembaga penegak hukum,” ujarnya.

Ketua Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Amien Sunaryadi, mengatakan jenis korupsi mempengaruhi strategi pemberantasan korupsi. Jika strategi pemberantasan korupsi tidak sesuai dengan jenis korupsi yang dihadapi, maka tindak pidana korupsi tak pernah bisa tuntas. Upaya yang dapat digunakan dalam memberantas korupsi antara lain pencegahan dan penindakan.

Mengacu UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbarui melalui UU No.20 Tahun 2001 ada 7 jenis korupsi meliputi merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dalam proyek bangunan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

“Untuk memberantas korupsi hanya perlu menggunakan UU Tipikor sesuai dengan jenis korupsinya,” urai Amien.

Partner & Co-Founder Assegaf Hamzah & Partners, Chandra M Hamzah, menegaskan pemberantasan korupsi adalah tugas pemerintah. Maka tidak tepat jika ada pihak pemerintah yang mengatakan pemberantasan korupsi adalah tugas kita bersama. Sekalipun ada masyarakat sipil yang membantu memberantas korupsi hal itu harus dilihat sebagai bonus. Maka CPI Indonesia yang meraih skor 34 harus dilihat sebagai evaluasi atas kebijakan pemberantasan korupsi yang sudah diterbitkan selama ini.

Chandra menghitung dari berbagai pasal dalam UU Tipikor sebagian besar merupakan warisan kolonial Belanda. Beberapa pasal  dalam UU Tipikor yang merupakan warisan kemerdekaan Indonesia jumlahnya kurang dari 5. Antara lain Pasal 2 dan 3 yakni tentang perbuatan yang dikategorikan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua pasal itu bentuk rekayasa hukum yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi tindakan ‘tidak bermoral’ sehubungan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda.

“UU Tipikor dan juga diadopsi dalam KUHP baru, masih menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tersebut. Padahal kedua pasal itu untuk mengantisipasi kecurangan dalam proses nasionalisasi perusahaan Belanda,” ujar Wakil Ketua KPK itu.

Persoalan berikutnya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor terkait pemberi dan penerima diancam pidana penjara 1-5 tahun. Sementara Pasal 12 huruf a dan b yang mengatur ketentuan yang serupa tapi ancaman pidananya berbeda yakni 1-20 tahun. Ironisnya ketentuan yang bermasalah itu tidak pernah direvisi.

Tags:

Berita Terkait