3 Sebab Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Selalu Rendah
Utama

3 Sebab Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Selalu Rendah

Meliputi pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi pemerataan ekonomi, korupsi politik masih marak, dan penegakan hukum anti korupsi belum efektif.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Diskusi yang diselenggaraan Hukmonline bertema Strategi Pemberantasan Korupsi Berbasis Pada Identifikasi Problem Korupsi yang Dipetakan Terhadap UU Tipikor Sebagai Instrumen Hukumnya, Selasa (18/04/2023). Foto: Ady
Diskusi yang diselenggaraan Hukmonline bertema Strategi Pemberantasan Korupsi Berbasis Pada Identifikasi Problem Korupsi yang Dipetakan Terhadap UU Tipikor Sebagai Instrumen Hukumnya, Selasa (18/04/2023). Foto: Ady

Transparency International (TII) telah merilis hasil Corruption Perception Index (CPI) tahun 2022 pada awal 2023 lalu. Indeks tersebut mengukur persepsi korupsi sektor publik dari skala nol (sangat korup) sampai skala 100 (sangat bersih) di 180 negara. Indeks Korupsi Indonesia (IPK) tahun 2022 terpuruk dengan skor 34, turun 4 poin dari tahun 2021. Turunnya indeks korupsi itu membuat Indonesia merosot ke peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei.

Deputi Sekretaris Jenderal (Sekjen) TII Wawan Heru Suyatmiko, mengatakan penurunan IPK tahun 2022 tergolong sangat drastis sejak 1995. Hasil CPI tahun 2022 itu membuat posisi Indonesia bertengger di peringkat 7 dari 11 negara di Asia Tenggara. Posisi Indonesia jauh di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.

Untuk memberantas korupsi, Wawan menyebut yang dibutukan tak hanya memperbaiki sistem tapi faktor kepemimpinan juga penting. Skor CPI tertinggi yang pernah dicapai Indonesia yakni 40 pada tahun 2019. Tapi ditahun yang sama dilakukan revisi UU KPK yang membuat KPK bukan lagi lembaga independen tapi sebagai bagian dari pemerintah seperti Polisi dan kejaksaan.

“Faktanya sejak UU KPK direvisi skor CPI periode 2019-2020 turun 3 poin, jika dibandingkan CPI tahun 2019 dengan tahun 2022 turun 6 poin,” kata Wawan dalam diskusi yang diselenggarakan hukumonline bertema ‘Strategi Pemberantasan Korupsi Berbasis Pada Identifikasi Problem Korupsi yang Dipetakan Terhadap UU Tipikor Sebagai Instrumen Hukumnya’, Selasa (18/04/2023).

Baca juga:

Wawan mencatat CPI Indonesia selama 10 tahun terakhir berada di skor rendah sekitar 30. Sedikitnya ada 3 hal yang menyebabkan Indonesia selalu mendapat skor CPI rendah. Pertama, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara progresifitas perusahaan dalam menerapkan sistem anti korupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.

Wawan mengingatkan pemberantasan korupsi tak melulu soal pertumbuhan ekonomi, kemudahan berusaha dan investasi saja tapi juga penting pemerataan ekonomi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak diiringi dengan mengecilnya koefisien gini. Nah, koefisien gini merupakan metode penghitungan terkait distribusi pendapatan atau, bila perlu, kekayaan seluruh populasi sebuah negara.

Kedua, indikator politik tidak terjadi perubahan signifikan. Wawan menjelaskan hal itu dilihat dari korupsi politik masih marak ditemukan. Jenis korupsi suap, gratifikasi sampai konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Politik uang yang masih marak jelang perhelatan pemilu ikut memicu terjadinya korupsi politik.

Ketiga, indikator penegakan hukum anti korupsi belum terbukti efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Wawan menyebut masih kerap ditemukan praktik korupsi di lembaga penegakan hukum. Menurutnya, 3 lembaga yang berwenang memberantas korupsi di Indonesia yakni polisi, jaksa, dan KPK harus bersinergi bukan berjalan sendiri-sendiri.

“Praktik korupsi lazim ditemui di lembaga penegak hukum,” ujarnya.

Ketua Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Amien Sunaryadi, mengatakan jenis korupsi mempengaruhi strategi pemberantasan korupsi. Jika strategi pemberantasan korupsi tidak sesuai dengan jenis korupsi yang dihadapi, maka tindak pidana korupsi tak pernah bisa tuntas. Upaya yang dapat digunakan dalam memberantas korupsi antara lain pencegahan dan penindakan.

Mengacu UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbarui melalui UU No.20 Tahun 2001 ada 7 jenis korupsi meliputi merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dalam proyek bangunan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

“Untuk memberantas korupsi hanya perlu menggunakan UU Tipikor sesuai dengan jenis korupsinya,” urai Amien.

Partner & Co-Founder Assegaf Hamzah & Partners, Chandra M Hamzah, menegaskan pemberantasan korupsi adalah tugas pemerintah. Maka tidak tepat jika ada pihak pemerintah yang mengatakan pemberantasan korupsi adalah tugas kita bersama. Sekalipun ada masyarakat sipil yang membantu memberantas korupsi hal itu harus dilihat sebagai bonus. Maka CPI Indonesia yang meraih skor 34 harus dilihat sebagai evaluasi atas kebijakan pemberantasan korupsi yang sudah diterbitkan selama ini.

Chandra menghitung dari berbagai pasal dalam UU Tipikor sebagian besar merupakan warisan kolonial Belanda. Beberapa pasal  dalam UU Tipikor yang merupakan warisan kemerdekaan Indonesia jumlahnya kurang dari 5. Antara lain Pasal 2 dan 3 yakni tentang perbuatan yang dikategorikan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua pasal itu bentuk rekayasa hukum yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi tindakan ‘tidak bermoral’ sehubungan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda.

“UU Tipikor dan juga diadopsi dalam KUHP baru, masih menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tersebut. Padahal kedua pasal itu untuk mengantisipasi kecurangan dalam proses nasionalisasi perusahaan Belanda,” ujar Wakil Ketua KPK itu.

Persoalan berikutnya Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor terkait pemberi dan penerima diancam pidana penjara 1-5 tahun. Sementara Pasal 12 huruf a dan b yang mengatur ketentuan yang serupa tapi ancaman pidananya berbeda yakni 1-20 tahun. Ironisnya ketentuan yang bermasalah itu tidak pernah direvisi.

Tags:

Berita Terkait