Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) diatur dalam kitab hukum acara pidana (KUHAP) menjadi hak narapidana pidana agar hukumannya menjadi ringan atau bahkan bebas dari jerat hukuman. Namun, pasca Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun pada Mei 2018, fenomena PK bagi terpidana korupsi menjadi tren yang jumlah terus meningkat.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada sekitar 19 terpidana korupsi yang ditangani tengah mengajukan upaya PK ke Mahkamah Agung (MA) terutama setelah “lengsernya” Artidjo dari kursi hakim agung. Diperkirakan jumlah itu akan terus bertambah. “Upaya hukum luar biasa ini hak terpidana. Namun, upaya PK seringkali dijadikan jalan pintas agar bebas dari jerat hukum,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dikonfirmasi, Rabu (13/6/2019). Baca Juga: Chairul Huda: Kembalikan PK Sesuai Ruh KUHAP
Dia menilai selepas masa purna bhakti Hakim Agung Artidjo Alkotsar per Mei 2018 lalu, ada fenomena ramai-ramai narapidana kasus korupsi mengajukan PK. Hal ini tentu harus menjadi perhatian MA sebagai lembaga peradilan tertinggi untuk memutuskan secara adil, obyektif, berdasarkan hukum yang berlaku, dan sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi.
Namun ironisnya, Kurnia menilai masyarakat seringkali diperlihatkan dengan putusan tingkat PK yang bertolak belakang dan tidak berpihak dengan pemberantasan korupsi. Misalnya, kasus korupsi yang menjerat Choel Mallarangeng. Di tingkat pertama, Choel diganjar hukuman 3,5 tahun dan denda Rp250 juta dan putusannya inckracht. Namun, di tingkat kasasi, MA malah memperingan hukumannya menjadi 3 tahun penjara.
Selain itu, MA pun mengabulkan PK mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo. Sebelumnya Suroso dihukum 7 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 190 ribu. Namun putusan PK malah menghilangkan hukuman kewajiban pembayaran uang pengganti.
“Hukum positif mengatur pembatasan syarat pengajuan PK bagi terpidana yang berkeinginan mengajukan PK sebagaimana diatur Pasal 263 KUHAP, PK tidak boleh diajukan kuasa hukumnya. Ini mesti menjadi warning bagi MA karena beberapa nama pengaju PK dimungkinkan memiliki kuasa hukum,” kata dia.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP |