Beberapa waktu ini ramai diperbincangkan soal gagasan beberapa tokoh untuk melakukan penyelidikan terhadap kecurangan pemilu melalui DPR. Pihak penyelenggara pemilu salah satunya adalah KPU. Lantas, apakah KPU dapat dijadikan objek hak angket DPR? Jika merujuk UU MD3, hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah, seperti kebijakan presiden, wakil presiden, menteri, panglima TNI, Kapolri, Jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Apakah KPU termasuk lembaga yang bisa menjadi objek hak angket?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut hemat kami, hak angket ditujukan kepada pemerintah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan serta yang menetapkan kebijakan dan dapat pula ditujukan kepada siapa saja yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan undang-undang dan tindakannya dianggap sebagai hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Lantas, apakah hak angket dapat ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (“KPU”)?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian dan Fungsi Hak Angket
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) melakukan fungsinya dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 yaitu melakukan pengawasan terhadap jalannya kinerja pemerintahan dengan menggunakan hak atau kewajibannya.[1]
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPR dalam melaksanakan fungsinya tersebut mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Hak angket menurut Pasal 79 ayat (3)UU MD3 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undangdan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Hak angket DPR merupakan bentuk atau implementasi fungsi pengawasan terhadap cabang kekuasaan lainnya dan sesuai dengan asas check and balances dalam rangka mewujudkan kekuasaan yang proporsional atau berimbang. Hak angket DPR tersebut dilaksanakan untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam rangka melaksanakan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[2]
Penggunaan hak angket oleh DPR tersebut berkaitan dengan proses penyelidikan ketatanegaraan,bukan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada hukum acara pidana, meskipun menggunakan nomenklatur yang sama.[3]
Hak angket merupakan bentuk pengawasan secara insentif dan investigatif terhadap kebijakan pemerintah. Adanya peran DPR melalui hak angket menghasilkan langkah konkret dibandingkan dengan menggunakan hak meminta keterangan karena di dalam mekanisme hak angket terdapat unsur di mana DPR juga ikut andil dalam memulai proses penyelesaian suatu kasus dengan langsung menjadi investigator dalam kasus tersebut.[4]
Hak angket di Indonesia pertama kali diatur dalam UU RIS 7/1950 tentang perubahan sementara Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Pasal 70 UU RIS 7/1950 mengatur bahwa DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Kemudian, saat ini, dalam UUD 1945, hak angket DPR diatur di dalam Pasal 20A sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Selain itu, hak angket DPR diatur lebih rinci di dalam UU MD3 dan perubahannya.
Dapatkah KPU Menjadi Objek Hak Angket DPR?
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hak angket dilakukan untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undangdan/ataukebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 diterangkan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
Menurut pendapat kami, inti dari Pasal 79 ayat (3) UU MD3 tersebut mengandung dua makna; pertama, hak angket ditujukan kepada pihak pemerintah sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan dan pihak yang menetapkan kebijakan, serta kedua hak angket ditujukan kepada siapa saja yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan undang-undang dan tindakannya dianggap sebagai hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu indikator penggunaan hak angket adalah adanya tindakan yang penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, menurut hemat kami, penggunaan hak angket fokus pada, pertamapelaksana undang-undang dan yang keduaadanya tindakan pelaksana undang-undang yang dianggap penting, strategis, dan berdampak luas yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kami berpendapat bahwa hal ini juga karena dalam UU MD3 tidak ada batasan mengenai siapa yang dilarang atau tidak dapat diselidiki melalui hak angket. Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hanya menggunakan frasa “dapat berupa” untuk menjelaskan siapa saja yang menjadi objek hak angket.
Artinya, frasa “dapat berupa” dalam penjelasan pasal tersebut tidak hanya terbatas pada kebijakan yang dikeluarkan Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, namun juga membuka kemungkinan objek lain, selama berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang. Selain itu, menurut hemat kami, ketentuan mengenai objek hak angket dalam peraturan tersebut ditujukan kepada pejabat saja, dan tidak melingkupi di dalamnya berupa badan/lembaga.
Lantas, apakah KPU selaku komisi negara independen yang menyelenggarakan pemilihan umum dapat menjadi objek hak angket DPR? Secara kedudukan, KPU termasuk ke dalam kategori lembaga negara independen yang nama lembaganya disebut dalam UUD 1945 tanpa menggunakan huruf kapital, disebut fungsinya, namun kewenangannya diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[5]
Meskipun KPU ini diamanatkan sebagai lembaga independen, tetapi faktanya KPU tidak benar-benar independen secara penuh. Terdapat batasan terhadap independensi KPU yaitu KPU bersifat independen terbatas sebagai pelaksana dari pemilu. KPU diturunkan dari kekuasaan eksekutif dan diidealkan independen dengan alasan khusus yaitu berangkat dari gagasan bahwa presiden selaku lembaga eksekutif tidak mungkin memilih dan mencalonkan diri sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.[6]
Komisi negara independen seperti KPU, Komisi Yudisial, Komnas HAM, tidak lepas dari fungsi organ-organ ini yang bersifat campur sari; terkadang memainkan peran sebagai kuasi eksekutif, kuasi legislatif, ataupun kuasi yudisial.[7] Dalam konteks KPU, KPU merupakan organ negara yang melaksanakan langgam eksekutif yang menyelenggarakan pemilihan umum, juga fungsi kuasi legislatif dalam menetapkan peraturan KPU.[8]
Selain itu, perlu diingat bahwa Pasal 12 huruf d UU Pemilu menyebutkan KPU memiliki tugas yaitu mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilu. Dengan demikian, KPU merupakan lembaga yang melaksanakan UU Pemilu berkenaan dengan penyelenggaraan pemilu.
Apabila merujuk pendapat Yusril Ihza Mahendra, setiap lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang harus mendapat pengawasan dan DPR sebagai pemilik fungsi legislasi berhak mengawasi lembaga tersebut.[9]
Lebih lanjut, temuan Idul Rishan dalam Jurnal Konstitusi berjudul Batas Konstitusionalitas Penggunaan Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (hal. 651) menyatakan bahwa pasca Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017, berdampak pada hak angket yang tidak hanya ditujukan pada KPK, tetapi juga dapat ditujukan pada lembaga-lembaga lain termasuk komisi negara independen sepanjang menjalankan fungsi-fungsi eksekutif.
Sehingga menurut hemat kami, KPU dapat menjadi objek hak angket, yang terbatas pada penyelenggaraan pemilu saja sebagai tugas dari KPU, bukan kepada hasil pemilu.
Terkait dengan apakah hak angket dapat membatalkan hasil pemilu 2024 atau tidak, perlu dipahami bahwa yang berwenang menyatakan batal hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU adalah Mahkamah Konstitusi. Selengkapnya mengenai jenis-jenis putusan MK tentang PHPU dapat Anda baca dalam Ragam Putusan MK tentang Sengketa Hasil Pemilu.
Daniel Panggabean. Implementasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat dalam Melakukan Kontrol atas Kebijakan Pemerintah. Nommensen Journal of Legal Opinion (BJLO), Vol. 03, No.1, 2022;
Dinda Dechyntia Asmarani. Konstitusionalitas Kemandirian Komisi Pemilihan Umum, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, dan Bank Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Alethea, Vol. 3 No. 1, Agustus 2019;
Evi Purnamawati. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Penggunaan Hak Angket Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Solusi, Vol. 17 No. 3, September 2019;
Idul Rishan. Relevansi Hak Angket terhadap Komisi Negara Independen. Jurnal Dialogia Iuridica, Vol. 10, No. 1, 2018;
Idul Rishan. Batas Konstitusionalitas Penggunaan Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16 No. 3, September 2019;
May Lim Charity. Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Legislasi, Vol. 14, No. 3, 2017.
[1] Daniel Panggabean. Implementasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat dalam Melakukan Kontrol atas Kebijakan Pemerintah. Nommensen Journal of Legal Opinion (BJLO), Vol. 03, No.1, 2022, hal. 33.
[2] May Lim Charity. Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Legislasi, Vol. 14, No. 3, 2017, hal. 246.
[3] May Lim Charity. Implikasi Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Legislasi, Vol. 14, No. 3, 2017, hal. 248.
[4] Evi Purnamawati. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Penggunaan Hak Angket Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Solusi, Vol. 17 No. 3, September 2019, hal. 310.
[5] Idul Rishan. Relevansi Hak Angket terhadap Komisi Negara Independen. Jurnal Dialogia Iuridica, Vol. 10, No. 1, 2018, hal. 51.
[6] Dinda Dechyntia Asmarani. Konstitusionalitas Kemandirian Komisi Pemilihan Umum, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, dan Bank Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Alethea, Vol. 3 No. 1 Agustus 2019, hal. 23.
[7] Idul Rishan. Batas Konstitusionalitas Penggunaan Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16 No. 3, September 2019, hal. 640 – 641
[8] Idul Rishan. Batas Konstitusionalitas Penggunaan Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16 No. 3, September 2019, hal. 643
[9] Idul Rishan. Batas Konstitusionalitas Penggunaan Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16 No. 3, September 2019, hal. 642