Intisari:
Sindrom Jacob adalah kondisi mutasi genetik yang terjadi pada kaum pria. Jika normalnya setiap sel dalam tubuh memiliki 46 kromosom, penderita Sindrom Jacob justru mempunyai 47 kromosom. Secara ekspilit memang tidak dikatakan bahwa Sindrom Jacob merupakan jenis penyakit jiwa, melainkan kelainan kromosom. Jika dilihat dari beberapa gejala yang dialami oleh penderitanya mirip dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh orang kurang sempurna akalnya yang dapat diberikan alasan pemaaf menurut Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu penderita antara lain mengalami cacat intelektual, suka melawan hukum, senang berbuat kriminal, dan ketika menginjak masa kanak-kanak, mereka cenderung aktif namun kematangan mentalnya mengalami penundaan. Sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya karena alasan pemaaf yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP adalah antara lain karena kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. Tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. Lantas, apakah penderita Sindrom Jacob dapat dipersamakan dengan gangguan kejiwaan dan dapat dipidana? Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Definisi Sindrom Jacob
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari Jacob’s
Syndrome/Sindrom Jacob. Menurut artikel
Mengenal Sindrom Jacob, Penyakit Kelainan Kromosom Pada Pria sebagaimana yang kami akses dari Alodokter, sebuah laman yang menyediakan informasi kesehatan, pakar kesehatan menyebutkan bahwa sindrom Jacob adalah kondisi mutasi genetik yang terjadi pada kaum pria. Jika normalnya setiap sel dalam tubuh memiliki 46 kromosom, penderita Sindrom Jacob justru mempunyai 47 kromosom. Penderita Sindrom Jacob bisanya mengalami gangguan hiperaktif dan kurang perhatian (
Attention deficit and hyperactive disorder atau ADHD), kesulitan dalam berinteraksi sosial, dan masalah perilaku lainnya.
Lebih lanjut dijelaskan, sindrom Jacob memang kerap kali tidak terdiagnosis sepanjang hidup seseorang. Jika sudah terdiagnosis, mereka bisa mencari dan mendapatkan bantuan. Dan meskipun tidak bisa disembuhkan, penderita Sindrom Jacob mampu hidup normal dengan kondisinya tersebut.
Selain itu, berdasarkan informasi yang diakses dari U.S. National Library of Medicine melalui laman
Genetics Home Reference, Jacob’s
syndrome disebut juga dengan 47,XYY
syndrome, XYY
karyotype, XYY
syndrome, YY
syndrome yang dideskripsikan sebagai berikut:
47, XYY syndrome is characterized by an extra copy of the Y chromosome in each of a male's cells.
Kemudian dijelaskan lebih lanjut mengenai gejala Sindrom Jacob dalam artikel
7 Kelainan Kromosom pada Manusia, yang kami akses melalui laman Halosehat, sebuah laman informasi kesehatan lainnya. Dimana dijelaskan bahwa gejala dari Sindrom Jacob yang paling banyak terjadi adalah kaitannya dengan perkembangan emosi serta masalah saat belajar di sekolah. Tercatat 50% dari penderita Sindrom Jacob ternyata mengalami keterlambatan dalam berbicara serta kemampuan bahasa. Adapun gejala lain yang umum terjadi adalah :
terjadinya cacat intelektual
penampilan wajah yang khas
berbagai masalah pada fisik
resiko terjadinya cacat jantung
suka melawan hukum
senang berbuat kriminal
berperilaku kasar
ketika baru lahir bayi terlihat normal dengan berat badan serta panjang bayi yang normal
ketika menginjak masa kanak-kanak, mereka cenderung aktif namun kematangan mentalnya mengalami penundaan
anak-anak dengan sindrom ini memiliki aktivitas yang tinggi namun mengalami gangguan dalam belajar.
Jerat Hukum Bagi Pelaku Pembunuhan
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan, dengan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 240) yang dapat dihukum oleh pasal ini adalah:
Diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain dengan sengaja. Artinya kematian tersebut disengaja, artinya dimaksud dan termasuk dalam niatnya. Apabila kematiannya itu tidak dimaksud, maka tidak termasuk dalam pasal ini.
Pembunuhan itu harus dilakukan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh itu. Tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang.
Misalnya: A sekonyong-konyong datang di rumah melihat bahwa istrinya sedang berzinah dengan B. Karena panas hati, timbul maksud untuk membunuh istri dan B itu yang seketika ia lakukan memakai pistol yang sedang ia bawa. Apabila antara timbul maksud akan membunuh dengan penyelenggaraanya, orang itu dengan tenang masih dapat memikirkan bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk melakukan pembunuhan itu, aka dikenakan Pasal 340 KUHP (pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu)
Jika pembunuhan itu dilakukan atas permintaan yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh dari orang yang dibunuh itu, maka diancam hukuman yang lebih ringan.
Jadi seseorang yang melakukan pembunuhan dengan memenuhi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Lalu, apakah bisa dihukum jika yang melakukan pembunuhan adalah orang yang memiliki penyakit sindrom Jacob? Untuk menjawabnya, kami akan mengacu pada alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP.
Alasan Pemaaf Bagi Kelainan Kejiwaan
Terkait dengan penyakit kejiwaan seseorang, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf:
Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP).
Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP:
Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi:
Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
Menurut R. Soesilo (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:
Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
Sakit berubah akalnya. Yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Seperti yang kami jelaskan sebelumnya, Sindrom Jacob adalah kondisi mutasi genetik yang terjadi pada kaum pria. Jika normalnya setiap sel dalam tubuh memiliki 46 kromosom, penderita Sindrom Jacob justru mempunyai 47 kromosom.
Secara ekspilit memang tidak dikatakan bahwa Sindrom Jacob merupakan jenis penyakit jiwa melainkan kondisi mutasi genetik. Jika dilihat dari beberapa gejala yang dialami oleh penderitanya mirip dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh orang kurang sempurna akalnya yang dapat diberikan alasan pemaaf menurut Pasal 44 KUHP yaitu penderita antara lain mengalami cacat intelektual, suka melawan hukum, senang berbuat kriminal, dan ketika menginjak masa kanak-kanak, mereka cenderung aktif namun kematangan mentalnya mengalami penundaan.
Meski demikian, berkenaan dengan kondisi kesempurnaan akal seseorang, menurut R Soesilo (hal. 61), hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin). Tetapi, untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat, hakim dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa.
Untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
[1] yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan Jiwa.
Pemeriksaan Kesehatan Jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
menentukan kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya; dan/atau
menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan.
Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan oleh tim. Tim tersebut diketuai oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan dapat melibatkan dokter spesialis lain, dokter umum, dan/atau psikologis klinis.
[2]
Jadi, untuk mengetahui apakah sindrom Jacob itu termasuk suatu penyakit yang bisa dipersamakan dengan tidak waras atau gila atau penyakit gangguan kejiwaan, dalam praktiknya hakim dapat merujuk pada pendapat seorang ahli kesehatan jiwa dan hasil pemeriksaan medis. Jika ternyata sindrom Jacob merupakan penyakit yang dapat dipersamakan dengan penyakit tidak waras, maka alasan pemaaf bagi pelaku bisa berlaku sehingga ia tidak dapat dipidana.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1991;
[1] Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. (Pasal 1 angka 3 UU Kesehatan Jiwa)
[2] Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan Jiwa.