Kalau ada Calon Debitur menjelang penandatanganan Perjanjian Kredit (PK), karena dugaan tindak pidana tertentu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian. Dalam hal ini apakah si Calon Debitur tetap punya kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk menandatangani PK? Dari sisi risiko kredit/operasional perbankan cukup memberatkan bagi Bank dengan asumsi kegiatan perusahaan Debitur akan banyak terganggu dengan status tersebut apalagi bila Calon Debitur benar-benar menjadi terpidana nantinya. Sebaiknya pemberian kredit tersebut diteruskan atau dibatalkan saja? Mohon pencerahannya. Salam, Bagas, Samarinda.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Mengenai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, menjadi tersangka dalam perkara pidana tidak mencabut hak seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, walaupun seseorang menjadi tersangka, pada prinsipnya ia tetap dapat melakukan perbuatan hukum, termasuk mewakili perusahaannya.
Â
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Namun, kita juga perlu melihat apakah orang yang menjadi tersangka tersebut masih berhak untuk mewakili perusahaan tersebut. Rujukannya antara lain bisa dilihat di Anggaran Dasar perusahaan tersebut. Sayangnya anda tidak menyebutkan bentuk perusahaan calon nasabah anda tersebut. Tetapi bila kita merujuk pada pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyebutkan bahwa dalam Anggaran Dasar antara lain diatur tata cara pemberhentian Direksi PT. Apabila ternyata dalam Anggaran Dasar perusahaan tersebut dinyatakan bahwa direktur yang menjadi tersangka dalam kasus pidana diberhentikan dari jabatannya sebagai direktur, maka tentu orang yang menjadi tersangka tidak dapat mewakili perusahaan untuk menandatangani perjanjian kredit.
Â
Mengenai pemberian kredit terhadap calon nasabah yang berisiko tinggi sudah pernah dibahas dalam jawaban kami di sini.
Â
Seperti dibahas dalam artikel tersebut, berdasarkan pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam memberikan kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dengan demikian, apabila ternyata dari analisis risiko kredit yang Anda lakukan, calon nasabah tersebut mempunyai resiko yang tinggi untuk memberatkan Bank, dan Bank anda tidak memperoleh keyakinan bahwa calon nasabah tersebut akan sanggup melunasi kreditnya, maka sebaiknya pemberian kredit tersebut dibatalkan.
Â
Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.
Â
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas