Saya ingin bertanya, apakah obat dan makanan impor wajib berlabel halal atau adakah ketentuan sertifikasi halal produk impor? Apa sanksi pidana jika saya menjual obat dan makanan impor yang tidak ada sertifikasi halal produk impor? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada prinsipnya produk (dalam hal ini makanan atau obat) yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal atau dengan kata lain sertifikasi halal produk impor pada dasarnya diwajibkan. Namun ketentuan sertifikasi halal produk impor ini dikecualikan bagi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan. Bagaimana bunyi pasalnya?
Ā
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ā
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adakah Sanksi Bagi Penjual Produk Impor yang Tidak Berlabel Halal? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 16 Juli 2014.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ā
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) huruf hĀ UU Perlindungan KonsumenĀ disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan āhalalā yang dicantumkan dalam label.
Sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen berdasarkanĀ Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan KonsumenĀ adalah dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Namun UU Perlindungan Konsumen tidak mengatur mengenai apakah barang yang diperjualbelikan harus mencantumkan label halal atau tidak.
Ā
Pencantuman Label Pada Pangan
Pengaturan mengenai label halal pada produk baik makanan maupun obat sebagai wujud perlindungan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam terdapat dalam UU Pangan dan UU 33/2014.
Adapun pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.[1]
Menjawab pertanyaan Anda pengaturan spesifik mengenai produk pangan impor yang diperdagangkan di wilayah Indonesia, kita mengacu padaĀ Pasal 97 ayat (2) UU PanganĀ yang berbunyi:
Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan ditulis atau dicetak secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti masyarakat dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:[2]
nama produk;
daftar bahan yang digunakan;
berat bersih atau isi bersih;
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
halal bagi yang dipersyaratkan;
tanggal dan kode produksi;
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
nomor izin edar bagi pangan olahan; dan
asal usul bahan pangan tertentu.
Setiap orang yang melanggar ketentuan pencantuman label pada Pasal 97 ayat (2) UU Pangan wajib mengeluarkan dari dalam wilayah Indonesia atau memusnahkan pangan yang diimpor.[3]Ā
Ā
Keterangan Tidak Halal pada Produk dari Bahan yang Diharamkan
Sementara itu, Pasal 4 UU 33/2014 mengatur produk (dalam hal ini makanan atau obat) yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Namun sertifikasi halal produk impor ini dikecualikan bagi pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan.[4]
Sebagai gantinya, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.[5] Keterangan tidak halal dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan yang dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk dengan warna yang berbeda pada komposisi bahan.[6]
Dalam praktiknya, kami menemukan beberapa contoh keterangan tidak halal pada kemasan produk pangan impor seperti āmengandung babiā atau āpada proses pembuatannya bersinggungan dan/atau menggunakan fasilitas bersama dengan bahan bersumber babiā, dan lain-lain.
Patut dicatat, pencantuman keterangan tidak halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.[7]
Ā
Sanksi Tidak Mencantumkan Keterangan Tidak Halal
Setelah mengetahui pengecualian sertifikasi halal produk impor dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan, lalu apa sanksinya jika pelaku usaha tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan? Pelaku usaha dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.[8] Dalam hal sanksi peringatan tertulis tidak ditindaklanjuti oleh pelaku usaha dalam jangka waktu 14 hari sejak ditetapkan, maka akan dikenakan sanksi denda administratif dan/atau penarikan barang dari peredaran oleh pelaku usaha selama paling lama 60 hari sejak sanksi penarikan barang ditetapkan.[9]
Dengan demikian, apabila produk (pangan atau obat) yang diimpor dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan, maka dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. Sebagai gantinya, produk tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal.
Namun apabila produk yang diimpor berasal dari bahan halal, maka diwajibkan bersertifikat halal yang permohonannya diajukan oleh importir atau perwakilan resminya.[10]