Berapakah nominal meterai yang saat ini boleh digunakan pada akta jual beli sawah?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya meterai digunakan untuk membayar pajak atas suatu dokumen yang mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Lalu, apakah semua dokumen wajib menggunakan bea meterai, termasuk akta jual beli?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Berapa Nominal Meterai untuk Jual Beli Tanah? yang dibuat oleh Lezetia Tobing, S.H., M.Kn dan pertama kali dipublikasikan pada 30 Oktober 2013.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan Pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Mengenai meterai atau bea meterai yang digunakan pada dasarnya kita dapat merujuk pada UU Bea Meterai. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, Anda perlu mengetahui pengertian dari bea meterai dan meterai terlebih dahulu.
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen.[1] Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.[2]
Disarikan dari Fungsi Meterai dan Objek Bea Meterai, secara garis besar fungsi meterai sebagai alat untuk pembayaran pajak atas dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti atau keterangan. Sehingga suatu dokumen diperlukan untuk menggunakan meterai jika akan dijadikan alat bukti di pengadilan. Apabila suatu dokumen seperti perjanjian atau surat pernyataan yang tidak dibubuhkan meterai, maka tidak membuat dokumen semata-mata menjadi tidak sah.
Perlu diketahui bahwa bea meterai akan dikenakan atas dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdatadan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.[3]
Adapun dokumen yang bersifat perdata dapat meliputi:[4]
Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenisnya, beserta rangkapnya;
Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) beserta salinan dan kutipannya;
Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta yang:
menyebutkan penerimaan uang; atau
berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
Dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dengan asumsi bahwa akta jual beli sawah atau dalam hal ini akta jual beli tanah tersebut akan digunakan untuk mendaftarkan pengalihan hak atas tanah sebagaimana terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997, maka kami berasumsi akta jual beli sawah tersebut adalah akta yang dibuat oleh PPAT.
Sebagaimana telah kami uraikan di atas, maka pada akta jual beli sawah yang dibuat oleh PPAT tersebut, merupakan objek bea meterai. Dengan demikian, besarnya bea meterai atas akta PPAT jual beli sawah tersebut merujuk pada Pasal 5 UU Bea Meterai, yaitu sebesar Rp10 ribu. Maka, akta jual beli sawah tersebut harus dikenai bea meterai dengan tarif tetap sebesar Rp10 ribu.