Bagaimana akibat hukum dari status karyawan yang mana perusahaan akan melakukan spin off atau memisahkan diri dari induk perusahaannya (holding)?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Spin off atau pemisahan perusahaan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.
Pemisahan perusahaan tentu berdampak pada status karyawan pada perusahaan yang bersangkutan. Bagaimana hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Status Karyawan Perusahaan yang "Spin Off" yang dibuat olehUmar Kasimdan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 21 Mei 2010.
Istilah spin off sebagaimana Anda sebutkan dalam pertanyaan dikenal dengan pemisahan dalam hukum Indonesia adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pemisahan sendiri dalam Pasal 135 UU PT dibedakan ke dalam 2 jenis yaitu pemisahan murni dan pemisahan tidak murni dengan penjelasan singkatnya berikut ini.
Pemisahan murni mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Pemisahan tidak murni (spin off) mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada.
Adapun pemisahan yang dilakukan perusahaan berdampak pada status pekerja/buruh pada perusahaan yang bersangkutan. Sebab, perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dengan alasan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh.[2]
Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam hal terjadi pemisahan, perusahaan hanya dapat PHK apabila pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan perusahaan, atau perusahaan tidak bersedia menerima pekerja/buruh tersebut di perusahaannya.
Dalam hal pekerja/buruh bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan perusahaan, atau perusahaan bersedia menerima pekerja/buruh tersebut di perusahaannya, maka masa kerja pekerja/buruh dengan perusahaan dapat tetap berlanjut sepanjang tidak dilakukan PHK. Patut diperhatikan, dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.[3]