Kakak saya (di Sumbawa Besar, NTB) tanggal 20 Desember 2015 berobat ke dokter mata. Dari hasil pemeriksaan diberi obat tetes mata. Setelah 2 hari mata bertambah sakit dan timbul warna putih seperti kapas. Hari ketiga putih semakin menebal dan beliau tidak dapat melihat (buta sebelah kanan). Hari ke-4 ke IGD namun dianjurkan dirujuk ke Mataram (NTB). Hari ke-6 kakak saya kembali ke dokter mata dan menanyakan mata berair kok jadi buta (tidak dapat melihat). Dan kakak saya menyampaikan ingin ke Jogja, dokter tersebut menawarkan uang sekedar ongkos jalan atau apa begitu (ada rekaman suara, rekaman ini disetujui oleh dokter tersebut) namun kakak saya menolak. Kakak saya ke Jogja, rawat inap di sana. Informasi yang didapatkan sedikit berbeda tentang penyakit kakak saya. Dan diberikan obat tetes maupun oral. Dan kakak saya bertanya ke dokter di Jogja apakah obat tetes dari dokter di Sumbawa bisa diteruskan, ternyata mendapatkan jawaban yang mengejutkan bahwa obat tersebut jangan digunakan lagi karena berbahaya bagi mata. Pertanyaan saya : 1. Langkah apa yang harus saya tempuh untuk jalur hukum? 2. Apakah ini tergolong malpraktek atau salah diagnosis yang menyebabkan cacat permanen?
Ada 3 (tiga) langkah hukum yang dapat diupayakan oleh kakak Anda terkait permasalahan yang menimpanya, yaitu:
1.Melakukan mediasi dengan dokter dari Sumbawa Besar (NTB) terkait mengapa akibat pemakaian obat tetes mata yang diberikan oleh dokter tersebut mengakibatkan mata kakak Anda timbul warna putih seperti kapas dan tidak lama kemudian kakak Anda tidak dapat melihat (buta sebelah kanan).
2.Membuat pengaduan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bahwa akibat tindakan dokter dari Sumbawa Besar (NTB), kakak Anda tidak dapat melihat (buta sebelah kanan).
3.Melaporkan dokter dari Sumbawa Besar (NTB) tersebut kepada pihak Kepolisian dan/atau menggugat dokter dari Sumbawa Besar (NTB) secara perdata di pengadilan.
Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda dan Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpa kakak Anda.
Berdasarkan kronologis yang Anda tulis, mata kakak Anda timbul warna putih seperti kapas dan tidak lama kemudian kakak Anda tidak dapat melihat (buta sebelah kanan) karena pemakaian obat tetes mata yang diberikan oleh dokter dari Sumbawa Besar (NTB). Setelah itu kakak Anda berobat ke rumah sakit di daerah Yogyakarta dan menurut dokter tersebut obat tetes mata sebelumnya jangan digunakan lagi karena berbahaya bagi mata kakak Anda.
MenurutM. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir dalam bukunya Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, malpraktik berarti kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Sedangkan menurut J. Guwandi dalam bukunya Hukum Medik disimpulkan bahwa Malpraktik adalah:
1.Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2.Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
3.Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut J. Guwandi di dalam buku Syahrul Machmud yang berjudul Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, malpraktik medis dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
1.Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) melakukan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, dan sebagainya.
2.Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal dunia (abandonment).
Terkait pertanyaan Anda yang ke-2, M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir menjelaskan bahwasalah diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan zaman, kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan pasien, kegagalan komunikasi dan kegagalan peralatan dapat dikatakan sebagai malpraktik.
Hal terpenting terkait permasalahan yang menimpa kakak Anda adalah perbuatan dokter dari Sumbawa Besar (NTB) untuk dapat dikatakan sebagai malpraktik harus dibuktikan terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (“MKDKI”). Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 14UUPraktik Kedokteran:
“Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi”.
Terkait pertanyaan Anda yang ke-1, langkah hukum yangdapat kakak Anda tempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, kakak Anda dapat melakukan mediasi dengan dokter dari Sumbawa Besar (NTB) yang memberikan obat tetes mata yang menyebabkan buta mata sebelah kanan.[1]
Kedua,kakak Anda dapat membuat pengaduan secara tertulis kepada Ketua MKDKI bahwa akibat tindakan dokter dari Sumbawa Besar (NTB) yang memberikan obat tetes mata tersebut, mata kakak Anda timbul warna putih seperti kapas dan tidak lama kemudian kakak Anda tidak dapat melihat (buta sebelah kanan).[2]
Pengaduan tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:[3]
1.Identitas pengadu;
2.Nama dan alamat tempat praktik dokter/dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan;
3.Alasan pengaduan.
Ketiga,kakak Anda dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh dokter dari Sumbawa Besar (NTB) kepada pihak Kepolisian dan/atau kakak Anda dapat menggugat kerugian secara perdata ke pengadilan. Ini karena setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.[4] Serta pengaduan kepada MKDKI tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.[5]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga telah mengeluarkan Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014 yang pada pertimbangannya mengatakan bahwa ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien .