Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Restitusi bagi Anak Korban
Patut diketahui terlebih dahulu bahwa anak yang dimaksud adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
[1] Pasal 59 UU 35/2014 menerangkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang, di antaranya:
Anak yang berhadapan dengan hukum;
Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
Anak yang menjadi korban pornografi;
Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; dan/atau
Anak korban kejahatan seksual;
Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014 menjelaskan secara tegas bahwa setiap anak yang disebutkan diatas berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya, khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum adalah restitusi anak korban.
[2]
Restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dapat berupa:
[3]ganti kerugian atas kehilangan kekayaan;
ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Adapun permohonan restitusi tersebut diajukan oleh pihak korban yang terdiri dari:
[4]orang tua atau wali anak yang menjadi korban tindak pidana;
ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana; dan
orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana dengan surat kuasa khusus.
Perlu diketahui bahwa permohonan restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai kepada pengadilan tersebut sebelum putusan pengadilan, dan diajukan melalui tahap:
[5]penyidikan; atau
penuntutan.
Berdasarkan keterangan Anda, maka pengajuan permohonan restitusi yang Anda maksud dilakukan pada tahap penuntutan. Dalam Pasal 7 ayat (1) PP 43/2017, pengajuan permohonan restitusi ini paling sedikit harus memuat:
identitas pemohon;
identitas pelaku;
uraian tentang peristiwa pidana yang dialami;
uraian kerugian yang diderita; dan
besaran atau jumlah Restitusi.
Lebih lanjut, pada Pasal 7 ayat (2) PP 43/2017 disebutkan, permohonan tersebut harus pula melampirkan:
fotokopi identitas anak yang menjadi korban tindak pidana yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang;
bukti kerugian yang sah;
fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan
bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana
Permohonan Restitusi Melalui Penuntutan
Penuntut umum pada tahap penuntutan memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat pada saat sebelum dan/atau dalam proses persidangan.
[6] Permohonan restitusi pada tahap penuntutan diajukan oleh pihak korban paling lama 3 hari setelah pemberitahuan mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana oleh penuntut umum.
[7]
Penuntut umum kemudian memeriksa kelengkapan permohonan restitusi dalam waktu paling lama 3 hari sejak tanggal pengajuan permohonan restitusi diterima.
[8] Jika ditemukan kekuranglengkapan pengajuan permohonan restitusi, penuntut umum memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi permohonan.
[9] Pemohon dalam waktu paling lama 3 hari sejak tanggal diterimanya pemberitahuan harus melengkapi permohonan.
[10] Apabila pemohon tidak melengkapi permohonan dalam waktu yang telah ditentukan,
pemohon dianggap tidak mengajukan permohonan restitusi.
[11]
Kemudian, apabila permohonan dinyatakan lengkap, penuntut umum dapat meminta penilaian besaran permohonan restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
[12] LPSK menyampaikan hasil penilaian besaran permohonan restitusi berdasarkan dokumen yang disampaikan penuntut umum paling lama 7 hari setelah permohonan penilaian restitusi diterima.
[13] Setelah proses tersebut dilalui, penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi sesuai dengan fakta persidangan yang didukung dengan alat bukti.
[14]
Menurut hemat kami, hal yang Anda alami dapat saja terjadi jika ternyata permohonan restitusi yang telah diajukan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 PP 43/2017. Maka, penuntut umum seharusnya memberitahukan mengenai kekuranglengkapan tersebut dan jika tidak dilengkapi, maka dianggap pemohon tidak mengajukan permohonan restitusi.
Meskipun demikian, masih ada kesempatan lain untuk mengajukan permohonan restitusi setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat, yaitu permohonan restitusi melalui LPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP 43/2017.
Peran LPSK dalam Permohonan Restitusi
Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
[16] Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
[17] Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.
[18]
Sanksi kepada yang Tidak Memenuhi Hak Anak Korban
Dalam Pasal 7A ayat (1) UU 31/2014 dijelaskan bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa:
ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Terhadap pelanggaran pasal tersebut, pelaku dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan/atau Pasal 40 UU 31/2014 yang menerangkan bahwa:
Pasal 38 UU 31/2014
Setiap Orang yang menghalang-halangi Saksi dan/atau Korban secara melawan hukum sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh Perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, huruf p, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40 UU 31/2014
Setiap Orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Jika Anda telah mengajukan permohonan restitusi secara layak dan memadai, maka penuntut umum dapat dikenai sanksi pidana, jika memang terbukti memenuhi unsur-unsur perbuatan dalam pasal-pasal diatas, karena menyebabkan korban tidak mendapatkan haknya atas restitusi.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 1 PP 43/2017
[2] Penjelasan Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014
[5] Pasal 5 ayat (1) dan (2) PP 43/2017
[8] Pasal 16 ayat (1) PP 43/2017
[9] Pasal 16 ayat (2) PP 43/2017
[10] Pasal 16 ayat (3) PP 43/2017
[11] Pasal 16 ayat (4) PP 43/2017
[12] Pasal 17 ayat (1) dan (2)
jo. Pasal 1 angka 3 PP 43/2017
[13] Pasal 17 ayat (3) PP 43/2017
[15] Pasal 2 dan Pasal 3 angka 3 Peraturan LPSK 5/2010
[16] Pasal 7A ayat (4) UU 31/2014
[17] Pasal 7A ayat (5) UU 31/2014
[18] Pasal 7A ayat (6) UU 31/2014